Selasa, 04 Desember 2012

Asa Yang Terburai 1

Asa Yang Terburai
bag. 1
Oleh ; Mahfudin Arsyad



            Liburan panjang kenaikan nabiyullah Isa al-Masih tanggal 17 Mei 2012 lalu, memberikan kesempatan buatku untuk menikmati kembali Harley Davidson yang telah lama tergeletak di garasi samping rumahku. Bayangkan, dari sejak kubeli tiga tahun yang lalu, baru tiga atau empat kali saja kugunakan. Maklum, kesibukanku mendirikan sekaligus mengasuh beberapa pesantren, sangat menyita waktu. Aku berinisiatif untuk meminta izin kepada istri dan anak-anakku untuk berkunjung ke rumah nenek di daerah Jatibarang, Indramayu.
Tadinya, aku ingin mengajak semua anggota keluargaku. Namun bagi anak- anakku yang masih sekolah, liburnya hanya pas pada tanggal yang merah saja, itu berarti hanya satu hari. Namun jika yang kuajak hanya mantan pacarku yang kini sudah menjadi istri, nanti tak ada yang menjaga anak-anak di rumah. Ya sudahlah, kuputuskan untuk berangkat sendiri saja.
            Setelah semua perlengkapan siap kumasukkan ke dalam box Harley, kutekan tombol starter motor, lalu khas suaranya menggema. ‘Dug dug dug…..’ membuat para santri yang sedang belajar di kelas, memanjangkan lehernya untuk sekedar bisa sedikit mencuri pandangan dari jendela, siapa gerangan si pengemudi motor gede tersebut. Satu suara lirih memberi kabar, “ayah….”. Maka kemudian semua wajah melongok ke jendela kelas dan berteriak saling bersautan.
Ayaaaah….. wowww, kereeen….! Mantaaabbhh…!” dan sautan-sautan lainnya. Kuangkat jempol tanganku dan kutujukan buat mereka sebagai respon atas sautan mereka. Kaca helm kubuka, lalu kutunjukan gigiku juga pada mereka, yang kemudian dibalas oleh ramainya tawa sumringah dari beberapa ruang kelas.
Aneh memang, sebuah pemandangan yang tidak lazim terjadi antara seorang kyai dengan para santrinya. Karena memang kuciptakan ikatan emosi terhadap mereka lebih dekat dari sekedar seorang kyai kepada santri. Aku lebih menganggap mereka seperti anak-anak kandungku sendiri, bukan santri yang sekedar datang untuk belajar, kemudian pulang lagi. Aku sadar, bahwa beberapa diantara anak-anak santriku yang berada di pondok adalah anak yang sangat membutuhkan kasih sayang serta perlindungan dari seorang ayah. Anak yang jarang sekali mendapatkan usap lembut di kepala dari orang tuanya. Anak yang butuh tempat curahan hati untuk sekedar mengadu akan masalah kecil dalam hidupnya. Anak yang ingin prestasinya dapat dilihat dan mendapat sambutan. Dan masih segudang lagi alasan yang membuataku begitu menyayangi mereka.
Bahkan pernah ada seorang ibu muda membawa anak gadisnya kehadapanku. Tiba tiba, ia menangis dan bercerita.
            Pak kyai, saya pernah berbuat salah. Dahulu, akibat pergaulan bebas di usia muda, saya hamil di luar nikah. Namun sayang, lelaki yang menghamili saya pergi entah kemana. Akhirnya saya rawat anak saya ini hingga cukup usia untuk saya tinggalkan bekerja di Hongkong. Namun ketika anak saya mulai beranjak remaja, adik lelaki saya yang seharusnya sebagai seorang paman bisa menjaga anak saya, tapi malah berusaha beberapa kali menggagahinya. Mendengar hal itu, saya minta izin cuti untuk pulang dan menikah dengan seorang lelaki. Berharap suami saya nantinya bisa menjaga anak perempuan saya yang mulai tumbuh kembang menjadi seorang gadis remaja ini. Namun malang nian nasibnya, justru suami saya yang baru saya nikahi, malah tega merenggut keperawanan anak saya.” Ibu muda itu menangis. “…. Saya takut sekali, ia hamil. Namun alhamdulillah, setelah tiga bulan, tak ada kelainan sedikitpun terjadi di perut anak saya. Maka saya putuskan untuk izin pulang sekali lagi kepada majikan dan mengantar anak saya ke tempat ini.”
            Dan memang berangkat dari permasalahan seperti inilah aku bertekad membuat pondok pesantren. Namun ketika maksud ini kusampaikan pada istriku, beliau malah memotivasi. “Jangan tanggung-tanggung ayah. Pesantren jangan hanya sekedar buat tempat penitipan anak, tapi juga sebisa mungkin untuk tempat penggojlokan mental dan bakat serta kreativitas, agar anak bisa menjadi manusia hebat dan berprilaku Islami di masa yang akan datang.” Maka mulai sejak itu, aku kerahkan seluruh keuntungan dari beberapa perusahaan yang ku kelola, untuk membangun sarana dan berbagai fasilitas untuk pengembangan anak di pesantren.
            Dan alhamdulillah, niatan itu akhirnya terwujud juga dengan berdirinya beberapa pondok pesantren modern di beberapa wilayah. Aku ingin, anak-anak yang tadinya tersisihkan, kelak muncul sebagai manusia yang sangat dibutuhkan oleh sebanyak-banyaknya ummat manusia. Aku ingin mereka bisa membalas budi kepada orang tuanya dengan menjadi manusia ‘unggul’ yang akan mengangkat harkat dan martabat  diri dan orangtuanya. Oleh karenanya, sejak dini kuwajibkan kepada seluruh anak-anak santriku untuk berkomunikasi menggunakan bahasa dunia, seperti bahasa Arab dan Inggris, agar kelak mereka dapat menerjang kancah kehidupan modern di masa yang akan datang.
            Rasa semangat yang membara seperti terpancing untuk muncul kembali. Setiap aku melihat senyum sumringah dari anak-anak santriku, tak sadar bahwa aku telah melamun beberapa saat, sementara kaki-ku reflek menyentuh gigi perseneleng Harley yang belum siap ku kendarai. Akibatnya, motor Harley yang kutumpangi mendesak maju. Bruukk…! Harley menabrak pos kecil di samping gerbang. Apes... Sudah nabrak, batok helmku tertimpa genteng yang ikut runtuh.
            Perjalanan menuju Jatibarang indramayu, memang sangat mengasyikkan. Apalagi dengan mengendarai motor besar. Terasa lebih santai dan elegan. Namun baru sampai di daerah Sukamandi, rintik hujan turun. Makin lama kian menderas.  Setiap tetesnya menyapa wajahku dengan lembut, ia bergulir begitu riang membasahi wajah dan seluruh tubuhku. Bergegas kucari tempat berteduh untuk sekedar menghindar dari bahaya yang mungkin bisa saja terjadi akibat hujan lebat. Kudapati gubug reot di pinggir jalan raya. Rupanya disitu sudah ada seorang bocah cilik yang juga ikut berteduh. Setelah ku sanggah Harleyku dengan standar, aku mengambil posisi berteduh di samping bocah itu. Dalam keheningan kami menanti hujan mereda, kudengar gemeletuk gigi sang bocah, mungkin akibat kedinginan. Kubungkukkan tubuh agar bisa sejajar dengannya. Kupegang pipinya dengan kedua telapak tanganku.
            Dingin ya nak?” sapaku, yang dijawab hanya dengan anggukan kepala. Lekas kubuka jaket yang sedang kukenakan kemudian kuselimutkan ke tubuh mungilnya. “Kok hujan-hujanan? Memangnya dari mana?” tanyaku lagi.
            Abis ngamen,” jawabnya ringkas.
            Nanti kalau hujannya sudah reda, biar om antar pulang kerumahmu ya!” tawarku, yang dijawab hanya dengan anggukan kepala. Aku terus memandangi tubuhnya yang gemetar. Tiba-tiba saja, aku teringat akan putraku yang baru berusia 5 tahun. Persis sebesar bocah ini. Hatiku pilu. Lalu kudekap tubuh bocah, agar ia merasa lebih hangat.
            Setelah hujan kian mereda, kuajak bocah itu untuk membonceng di Harleyku. ‘Bruuuum’ kedua tangannya semakin erat melingkar di pinggangku. Selang berapa lama, sampailah kami di rumah mungil sang bocah yang baru kutahu ia bernama Ardi, karena tetangganya yang menyaksikan kami berteriak, “waduuuh... hebat si Ardi, bisa naik motor bagus!”
            Berkali kali ku memberi salam di pintu rumah Ardi, namun tak jua ada jawaban. Sementara Ardi langsung menyelonong masuk ke dalam rumahnya sendiri. Dari dalam Ardi berteriak, “masuk aja om, ga ada siapa siapa kok!” Aku masuk mengikuti arah sumber suara Ardi. Rupanya ia mengganti pakaian di kamarnya. Kubersandar di tiang pintu kamar Ardi, sambil iseng bertanya.
            Ayah ibumu kemana nak? Kok sepi banget ya?”
             “Ayahnya kabur dengan wanita lain, sedangkan ibunya pergi ke Arab sudah dua tahun,” tiba-tiba seorang wanita setengah baya berada di sampingku menjawab pertanyaanku barusan. Aku membenahi posisi berdiriku agar lebih tegak dan terlihat sopan di hadapannya. “Saya ini tetangganya yang paling deket sama rumah ini. Dan sira (kamu) ini siapa?” tanyanya padaku.  
            Aku mencoba untuk menjelaskan pertemuanku dengan Ardi di gubug tadi. Lalu wanita separuh baya itu mempersilahkanku untuk duduk dan mendengarkan ceritanya.
            Kasihan anak itu. Masih kecil  telah ditinggalkan kedua orang tuanya. Berawal dari ibunya yang pergi bekerja ke Arab, dan  setahun kemudian giliran bapaknya yang pergi dengan wanita lain, entah kemana dan tidak pernah datang lagi. Padahal dahulu, mereka bisa dibilang pasangan suami istri yang tidak terlalu banyak masalah. Hanya mungkin karena ingin merubah ekonomi, akhirnya istri memutuskan untuk ke Arab. Awalnya, merekapun masih baik baik saja. Namun setelah suaminya sering mendapat kiriman dari istrinya, tingkah laku suaminya dikit demi sedikit berubah seperti jurig, sering main perempuan dan tiap malam kerjaannya mabuk. Sedangkan anaknya sama sekali tidak diperhatikan. Jangankan untuk baju salinnya, wong untuk makan anaknya saja, setiap hari saya yang berikan. Kiriman istrinya setiap bulan habis buat maksiat. Cemera eddan..!” Wanita itu mengutuk.
            Terus, bagaimana kehidupan dan aktivitas Ardi selama ini bu?”
            Wis tah, ngomonge aja mengkonon. Reang beli ngerti…!!” tampik sang ibu protes sambil menyulut rokok yang terselip di sela bibirnya.
            Maksud saya, bagaimana sehari hari Ardi, bu?”
            Ya begitu, kalau pagi, dia pergi ngamen. Pake kecrekan aja. Wuh, dia mah hebat. Ngamennya kadang sampe Cikampek, malah katanya sering sampe Cirebon.”
            Makannya gimana bu?”
            Mangan, ya kari mangan bae. Gimana sih, masa nanyain makan. Banyak warteg kok. Ya tinggal beli sendiri di warteg. Wong deweke wis pinter luruh duit. Saya, ya ndak mau ngasih makan ke dia, orang dia juga ndak ngasih duit ke saya buat beli beras kok.”
            Dugghh!!! Jantungku hampir saja copot mendengar pernyataan ibu setengah baya ini. “Ya Allah Gusti Pengeraan…!” batinku bergumam. Anak sekecil ini, yang seharusnya mendapatkan belaian kasih sayang dari orang tuanya, namun harus hidup sebatang kara. Ia lalui terjalnya hidup seorang diri.
            Bayangkan…! Ia terpaksa harus  mengusap air matanya seorang diri sejak usia tiga tahun. Tak ada lagi belai lembut sang bunda saat ia kedinginan. Tak juga ada peluk manja sang ayah saat ia ingin bermain-main. Yang ada hanya kesendirian. Anak sekecil itu harus dipaksa berjuang memecahkan karang kehidupan dengan tangannya yang mungil dan ringkih.
            Ya Allah.... batinku menangis. Hatiku menjerit menyaksikan kepapaan ini. Aku tak sanggup membayangkan, andainya hal seperti ini terjadi pada anak-anakku. Aku sadar, di luar sana masih banyak Ardi lain yang senasib bahkan mungkin lebih menyedihkan keadaannya dibanding Ardi. Namun aku tak berdaya. Aku tak mampu mengubah keadaannya jadi lebih baik. Andaikan.... ya andaikan mampu, akan kujamin kehidupan orang-orang yang miskin secara ekonomi agar tak perlu lagi ada seorang ibu yang bekerja ke luar negeri meninggalkan buah hatinya. Juga agar tak ada lagi ayah yang menelantarkan belahan jantungnya lantaran tak sanggup hidup seorang diri tanpa istri di sampingnya.
            Duh Gusti Pangeran.... rasanya tak sanggup diri ini menyaksikan penderitaan yang dialami oleh Ardi. Bocah sekecil ini belum saatnya harus terjun ke gelanggang kerasnya dunia untuk sekedar mengumpulkan uang receh buat makan. Ia terlalu lemah untuk bertarung dengan manusia-manusia lapar dan serakah di jalan yang kadang keserakahan mereka mampu menelan apapun, termasuk keimanan dan akidah mereka. Ardi harus kembali ke komunitasnya. Ya, ia harus seperti anak-anak kecil seusianya yang sedang di usia emas kecerdasannya, belajar dan bermain. Aku bertekad, akan kukembalikan Ardi seperti sewajarnya anak kecil. 
            Perlahan, tanpa terasa, ujung kelopak mataku mulai basah. Dan titik-titik bulir bening tanpa dapat kubendung, mulai menetes.
            Kuseka air mataku, agar ibu setengah baya itu tak melihatku menangis.         
            Bu... nanti akan saya titipkan uang buat kebutuhan Ardi ya!” ujarku pada ibu, sambil kuberdiri untuk menghampiri ardi yang masih berada di dalam kamar.
            “Sini nak, om mau ngomong sama kamu.” Kurangkul pundak Ardi untuk ikut menyaksikan apa yang ingin kutitipkan pada ibu setengah baya ini.
            Assalamualaikum…!” sapa seseorang di pintu rumah sambil nyelonong masuk dan duduk di bangku.
            Eh, ana pak erte,” sambut ibu setengah baya.
            Hatiku bergumam, “hemmm... kebetulan.”
            Kududukkan Ardi di pangkuanku dan mulai ikut menyapa pak RT.
            “Begini pak RT, saya bermaksud menitipkan uang kepada ibu sebanyak 2 juta buat segala kebutuhan Ardi. Pakaian, makanan, bahkan kalau bisa sekalian untuk seragam sekolahnya nanti, jika nanti dia akan sekolah. Mudah-mudahan uang ini bArdiermanfaat untuk ,ujarku sambil mengeluarkan uang dari dompetku.
            Semua orang di ruangan tersebut menghening. Kukecup lembut dahi Ardi, lalu aku pamit untuk melanjutkan perjalanan. (*)
                                   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar