Profile




Ponpes Modern Man Ana
Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang sebenarnya sudah tua sekali usianya, boleh dikatakan ada sejak permulaan penyebaran Agama Islam di Indonesia. Pada lembaga ini, dalam bidang keagamaan yang bernuansa tradisional, penyebaran ajaran Islam dikembangkan secara turun temurun. Jauh sebelum sekolah-sekolah umum berdiri, pesantren telah memainkan peran penting dalam dunia pendidikan, khususnya pendidikan agama Islam, baik untuk tingkat dasar, menengah maupun tinggi. Bahkan karena tuanya sistem pendidikan pesantren, Hasbullah menyebutnya sebagai “Bapak” pendidikan Islam di Indonesia. Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam, juga berfungsi sebagai tempat penyiaran agama Islam dimana para santri (santriwati/santriwan) dididik untuk bisa hidup dalam suasana yang bernuansa agamis, maka dari itu pondok pesantren memiliki tingkat integritas yang tinggi dengan masyarakat sekitarnya dan menjadi rujukan moral/perilaku bagi masyarakat umum. Peran pondok pesantren yang demikian luhur tersebut, tentunya memunculkan harapan dari masyarakat bahwa di pondok pesantren, ajaran dan tradisi keislaman dapat terus dilestarikan.

Tak dapat dipungkiri, adanya diferensiasi model pesantren menjadi pesantren modern (khalaf) dan pesantren tradisional (salaf), juga membawa efek pada perubahan tradisi yang berlaku. Pesantren modern identik dengan memudarnya nilai-nilai “moral pesantren” yang merupakan prinsip pendidikan pesantren, yang tentunya sangat berbeda dengan pesantren tradisional yang masih memegang teguh prinsip-prinsip tersebut. Meski demikian, ternyata masih ada pesantren modern yang tetap menjaga dan memelihara tradisi pesantren yang luhur, salah satunya Pondok Pesantren Modern Man Ana yang ada di wilayah kampung Susukan Desa Gunung Picung, kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pondok pesantren yang berlokasi sekitar ± 36 km arah selatan kota Bogor ini, terbilang cukup asri. Lokasinya yang persis berada di puncak Gunung Picung, membuat keberadaan pesantren ini bisa dilihat dari daerah-daerah sekitarnya yang lebih rendah. Kendati baru seumur jagung, tapi sarana dan fasilitas yang dimiliki pesantren ini terbilang cukup memadai untuk kegiatan belajar mengajar para santri. Selain asrama, ruang kelas, masjid yang menjadi pusat kegiatan santri, tersedia juga koperasi sekolah, lapangan olahraga, perpustakaan dan laboratorium komputer.  

Sekilas Tentang Pesantren Man Ana
Berdirinya Pondok Pesantren Modern Man Ana yang merupakan “anak” dari Pesantren Yatim dan Dhuafa Al-Irsyad Ciputat, berawal dari kegundahan KH. Mahfudin Arsyad, pengasuh pesantren,
yaang menyaksikan ketimpangan sosial yang terjadi di masyarakat. Jurang kemiskinan mengaga lebar, menyebabkan banyak orang tua tak mampu membiayai anak-anaknya untuk mengenyam pendidikan. Berangkat dari kepedulian itulah, KH. Mahfudin Arsyad, “mempondokkan” rumshnya di bilangan Ciputat, Tangerang Selatan. Anak-anak yang orang tuanya tak memiliki biaya untuk sekolah, dibantu pembiayaannya. Anak-anak yatim dan yatim piatu, dirangkulnya untuk tinggal bersama di bawah satu atap. Menurut KH. Mahfudin Arsyad, awalnya ia hanya merawat satu-dua anak tetangga yang yatim dan dhuafa. Anak-anak tersebut dibiayai sekolahnya dan diberikan uang setiap bulan untuk biaya kebutuhan hidupnya. “Kondisi itu berlangsung sekitar tahun 2002. Saat itu saya masih bekerja di salah satu perusahaan BUMN yaitu PLN sebagai supir,” ucap kyai muda kelahiran Jakarta, 22 Juni 1978 ini.

“Alhamdulillah setelah merawat mereka, rezeki dari Allah makin bertambah. Malah belakangan kemudian saya diangkat menjadi area manajer di wilayah Ciputat. Barangkali ini keberkahan merawat anak-anak yatim,” ungkap KH. Mahfudin. Lebih lanjut, alumnus Pondok Pesantren Daarul Qalam Gintung ini menjelaskan, dari yang awalnya hanya satu dua orang yatim yang tinggal bersamanya, berbilang tahun jumlahnya bertambah banyak. Maka kemudian secara formil, ia pun membentuk Pesantren Yatim dan Dhuafa Al-Irsyad pada 2004, meski saat itu pendidikan formal para santri masih diserahkan kepada sekolah-sekolah formal di luar lingkungsn pesantren. Perkembangan Pesantren Yatim dan Dhuafa yang terus maju ditambah jumlah santri yang kian meningkat, sehingga lingkungan di Ciputat dirasa tidak kondusif lagi bagi kegiatan pesantren, maka sekitar tahun 2011 dibangunlah Pondok Pesantren Modern ‘Man Ana’ di wilayah Gunung Picung, Pamijahan, Bogor Jawa Barat, yang kemudian diresmikan pada 9 Juli 2011.

Secara umum, menurut kyai muda yang menyelesaikan jenjang pendidikan S1 nya di Univeristas Muhammadiyah Jakarta ini, tiga fungsi utama Pesantren modern Man Ana adalah pertama, sebagai lembaga pendidikan yang melakukan transfer ilmu-ilmu agama (tafaqquh fiddin) dan nilai-nilai Islam (Islamic values); kedua, sebagai lembaga keagamaan yang melakukan kontrol sosial kemasyarakatan (social control); dan ketiga, sebagai lembaga keagamaan yang melakukan pengembangan masyarakat (community development). “Keberlangsungan fungsi ini dipelihara dengan menggunakan prinsip perawatan akan tradisi-tradisi yang baik dan sekaligus mengadaptasi perkembangan keilmuan baru yang lebih baik (al-muhafazah ‘ala al-qodim al –salih wa al-akhdzu bi al-jadid al-aslah),” jelas kyai yang kerap melakukan dakwah ke mancanegara ini, semisal Jepang, Hongkong dan Macau.

Nama dan Logo Pesantren
Satu hal yang menarik dari pesantren ini adalah soal nama yang relatif berbeda dengan pondok pesantren modern lain yang umumnya menggunakan nama Darul seperti Darul Qolam, Darur Rahman, Darus Salam. Ataupun nama dari pendirinya, semisal Asy-Syafi’iyah, Ath-Thahiriyah dan lainnya. Menjawab hal ini, kyai yang menyelesaikan pendidikan S2 di Universitas Asia Afrika ini menjelaskan bahwa nama Man Ana tersebut diambil sebagai bentuk ta’zim (penghormatan) kepada gurunya semasa di pesantren Daarul Qolam yakni allahuyarharm almaghfurlah KH. Ahmad Rifa’i Arif.

“Dahulu beliau selalu bilang kepada kami para santrinya, is-al kafa binafsika, man ana (tanyakan kepada dirimu sendiri, siapa saya?). Awalnya saya cuma bisa menghafal dan mengingat ucapan beliau. Tapi belakangan, setelah makin dewasa dan kian dalam mengkaji ilmu agama, saya baru faham ucapan beliau yang sesungguhnya sangat filosofis dan menggugah kesadaran terdalam kita,” urai KH. Mahfudin. “Itulah sebabnya kemudian, kenapa pesantren ini saya beri nama Man Ana. Karena saya ingin para penduduk pesantren saya, masing-masing bertanya pada dirinya sendiri, ‘siapa saya?’ Sehingga ketika mereka menjawab, ‘saya adalah ustadz pengajar ilmu agama,’ maka ia akan malu ketika melakukan suatu perkara yang bertentangan dengan agama. Ketika mereka menjawab, ‘saya adalah seorang santri,’ maka mereka pun malu jika melakukan suatu perbuatan yang bukan perbuatan lazimnya seorang santri. Yang lebih saya inginkan lagi adalah ketika mereka menjawab, ‘saya adalah hamba Allah yang diciptakan oleh-Nya sebagai washilah atau perantara Allah untuk menutupi kebutuhan manusia yang sedang dahaga akan agama,” jelas KH. Mahfudin panjang lebar.

Tak hanya nama, logo pesantren ini juga terbilang cukup unik, yaitu berupa sebuah tanda tanya besar dikelilingi tujuh buah bintang dan ditopang kaligrafi kalimat laa ilaha illallah muhammadur rasulullah berbentuk bulan yang kesemuanya ditopang oleh sebuah pita yang juga menjadi nama dari pesantren.  

Lestarikan Tradisi Mencium Telapak Tangan
Keunikan lain yang terdapat di pesantren yang menyelenggarakan pendidikan formal tingkat SMP dan SMA ini adalah dilestarikannya tradisi mencium telapak tangan yang nota bene sekarang ini sudah tidak ditemukan di pesantren modern manapun. Bagi KH. Mahfudin, mencium telapak tangan ustadz, bukan sekedar pelestarian tradisi tapi lebih jauh dari itu adalah penanaman nilai-nilai akhlak bagi para santri. “

Kita tahu, Islam mengajarkan ummatnya tentang barokah dan takzim serta penghormatan seorang murid kepada gurunya. Namun hal tersebut sekarang ini dikecohkan oleh orang-orang kafir barat yang mengatas namakan modernisasi, dengan mengatakan bahwa semua manusia adalah sama. Tidak perlu mengagungkan antara satu dengan yang lainnya. Bahkan sampai kepada pernyataan radikal bahwa Muhammad saw, juga adalah manusia yang sama. Beliau pun bisa salah dan tidak perlu menghormatinya secara berlebihan. Ini merupakan salah satu program pemurtadan yang diluncurkan oleh orang-orang kafir dan musyrik untuk memporak porandakan kaum muslim,” ungkap KH. Mahfudin.

“Dahulu para santri begitu sungkan ketika bertemu, apalagi berhadapan dengan kyainya. Namun kini, karena hasutan dan doktrin sesat modernisasi, seorang santri sudah berani memanggil kyainya dari jarak yang agak jauh. Tragis! Kalau sudah seperti itu, hilanglah wibawa seorang kyai, yang akhirnya segala petuahnya tidak lagi menjadi sebuah fatwa. Ketika seseorang sudah tidak lagi menghargai petuah-petuah ulama, hanya akan menciptakan alur kehidupan manusia makin semrawut. Yang bodoh makin bodoh. Yang miskin makin miskin, yang ngebelangsak juga makin nyungseb. Ya, karena itu tadi. Sudah tidak ada lagi nasehat yang dapat diterima oleh hatinya,” jelas KH. Mahfudin miris.

“Itulah sebabnya,” lanjutnya, “meski di pesantren ini diajarkan berbagai hal yang bersifat modern, penanaman akhlak kepada santri tetap jadi prioritas utama. Dan salah satunya, dengan mencium telapak tangan ustadznya. Kalau mencium punggung tangan merupakan bentuk takzim, maka mencium telapak tangan merupakan sebuah pengharapan keberkahan ilmu dari ustadznya,” tegas KH. Mahfudin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar