Zaman sekarang ini,
kita telah ditelusupi oleh orang-orang orientalis yang bermaksud memudarkan
ajaran agama Islam yang hanif, khususnya di negeri tercinta Indonesia. Banyak
sekali orang kafir bermaksud mengecohkan agama Islam di Indonesia dengan alasan
kemajuan zaman modern. Salah satu contohnya adalah
dimana Islam
mengajarkan ummatnya tentang barokah dan takzim serta penghormatan seorang
murid kepada gurunya, sehingga terciptanya keharmonisan dan kekompakan antara
ummat Islam itu
sendiri.
Namun hal ini dikecohkan oleh orang-orang kafir barat yang mengatas namakan modernisasi dengan
mengatakan bahwa semua manusia adalah sama. Tidak perlu mengagungkan antara
satu dengan yang lainnya. Bahkan sampai kepada pernyataan radikal bahwa Muhammad
saw, juga
adalah manusia yang sama. Beliau pun
bisa salah dan tidak perlu menghormatinya secara berlebihan. Ini merupakan
salah satu program pemurtadan yang diluncurkan oleh orang-orang kafir dan musyrik untuk
memporak porandakan kaum muslim.
Dahulu para santri
begitu sungkan ketika bertemu, apalagi berhadapan dengan kiyainya. Namun kini,
karena hasutan dan doktrin sesat moderenisasi, seorang santri sudah berani
memanggil kiyainya dari jarak yang agak jauh. Tragis…!! Kini hilanglah wibawa seorang
kiyai, yang akhirnya segala petuahnya tidak lagi menjadi sebuah fatwa. Padahal
kenyataan ini, maksudnya, ketika seseorang sudah tidak lagi menghargai petuah- petuah ulama, hanya akan
menciptakan alur kehidupan
manusia semakin semrawut. Yang bodoh makin bodoh. Yang miskin makin miskin,
yang ngebelangsak juga makin nyungseb. Ya, karena itu tadi. Sudah tidak ada
lagi nasehat yang dapat diterima oleh hatinya.
Sekh Konidin termenung di saung kazebo
tempat persemediannya, ditemani oleh istri tercintanya. Mereka berdua saling
diam, seperti merenung dan menelaah jauh ke dalam relung jiwa. Segala gerak gerik tubuhnya bergerak tanpa
sadar, karena fikirannya bukan kepada gerakan tubuhnya, tapi pada perenungan
tadi. Dengan gaya khasnya, istri Sekh Konidin
menopang dagu dengan telapak tangannya. Sedangkan Sekh sendiri, merenung sambil
mengelus-elus
jenggotnya. Beberapa santri yang dari kejauhan memperhatikan gelagat kedua
gurunya itu, ikut mempraktekan gerakan Sekh Konidin dan istrinya yang mereka
panggil dengan sebutan ayah dan bunda. Pada saat Sekh manggut- manggut, beberapa santri yang
memperhatikanpun ikut manggut-manggut.
Memori otak dan jiwa Sekh,
menerawang jauh, mengingat kembali akan gelagat dan tingkah laku serta pola
fikir kebanyakan saudari-saudarinya yang
di Hongkong, Singapore, Taiwan dan Malaysia. Dimana banyak di antara
mereka yang dengan keji memfitnah dan mencemooh beberapa ustadz atau ustadzah
yang tidak mereka suka hanya lantaran dianggap menghambat urusan dapur mereka. Ada juga diantara mereka yang
‘nyolot’ gara gara seorang ustadz menghambat popularitas mereka.
Duh, sepertinya hidup ini cuma ada dua urusan, yakni urusan
terkenal dan urusan perut. Sekh Konidin geleng, yang diikuti oleh gelengan kepala beberapa santri yang
memperhatikannya. Benak Sekh bertanya, kenapa sih, untuk berbuat baik saja harus dipuji?
Padahal Allah menyediakan syurga buat para wanita yang membantu suaminya
mencari nafkah, apalagi sambil berdakwah. Tapi mengapa pada saat ia berdakwah
dengan mengadakan pengajian, justru malah dinodai dengan keinginannya mendapat
sanjungan dari orang lain. Bukankah dengan demikian, syurganya malah berubah
menjadi laknatullah? Seharusnya ia mendapatkan keberkahan atas pahala yang
berlipat ganda karena telah bekerja di luar negeri dan mengajak orang untuk
mengaji, tapi malah menderita dengan persolan hidup, lantaran kepingin
terkenal.
Sekh ingat sekali, pada saat beliau menulis sebuah kisah
hikmah tentang seorang mantan lesbi yang akhirnya bisa masuk kedalam syurga, namun
kemudian mendapatkan kecaman keras dari wanita-wanita yang katanya sholehah
yang berada di luar negeri dengan mengatakan, “dasar kamu ini ustadz
‘nggateli’. Ustadz goblok,
ustadz ndobol…!!! Apa dalilnya orang lesbi bisa masuk syurga? Kalo nulis, pake otak
dooong… Gobloggh…!!!”
tapi dengan lembut Sekh menimpalinya.
“Wah maaf deh, kalau
tulisan saya bikin ibu marah. Karena memang saya nulisnya bukan pake otak, tapi
pake tangan bu. cuma, kira kira bagian yang mana ya, yang bikin ibu marah
banget?” ujar Sekh dengan intonasi bahasa yang sangat ramah dan damai.
“Saya sih belum baca, tapi lesbi
itu gak boleh masuk syurga dong. Sebab aku ini sudah delapan kali ditinggalin
sama pacar perempuanku. Posisi aku tuh yang jadi perempuannya. Jadi aku bukan lesbi, karena yang
namanya lesbi itu kan, perempuan tomboy yang jadi lelaki. Lagian kenapa juga,
kamu ngebelain setan lesbi itu. Apa jangan- jangan kamu ini germo-nya para
lesbi ya? Wong koyo koe kok ‘urip’ sih? Ini namanya setan urip. Dasar
goblogh….!!!”
Mengingat kalimat terakhir yang
dilontarkan oleh wanita itu, lamunan Sekh terhenyak. Kaget dan
berteriak. “setan urip…! eh setan urip,” ujar Sekh seperti orang latah. Karuan
saja hal itu membuat istrinya ikut kaget dan ngejengkang ke belakang. “Huwaaa….!!!” Gubrakkk….!!!
Akhlaq dan ilmu,
posisinya selalu beriringan. Malah, kebanyakan akhlaq itu akan muncul tatkala
seseorang sudah sarat dengan ilmu. Ada juga ulama yang berpendapat bahwa ilmu akan menciptakan
akhlaq. Jadi orang yang tidak memiliki akhlak, bisa dipastikan, hanyalah orang
yang tidak berilmu. Bagaimanapun bagus penampilannya. layakanya seorang yang sholeh atau sholehah. Karena penampilan, tidak
menjamin seseorang berakhlak mulia.
Menghormati dan memuliakan ulama,
merupakan bukti akhlaq seseorang. Seberapa besar seseorang takzim kepada ulama,
menunjukan seberapa bagusnya akhlak yang dimiliki. Padahal, mungkin secara
notabene, orang tersebut tidak pernah mendapatkan pendidikan secara formal
seperti SMP atau SMA. Tapi kan, ilmu bukan hanya
didapatkan dari kelas atau sekolah. Maraknya pengajian di negeri Hongkong, mestinya menjadi ajang
para muslimah untuk menimba ilmu. Barangkali dengan begitu, akhlaqnya jadi
mulia sehingga ia bisa memuliakan orang orang yang harus dimuliakan. Seperti
suami, ulama atau malah majikan. Loh iya
dong, majikan juga perlu di hormati, meskipun tidak sampai pada kategori
dimuliakan. Sebab majikan itu, merupakan wasilah datangnya rezeki untuk saat
itu.
Namun ada beberapa hal yang dapat
menggugurkan kewajiban seseorang untuk memuliakan suami dan ulama atau
menghormati majikan. Adalah ketika mereka sudah memerintahkan kita untuk
berbuat dosa atau mendurhakai Allah. Maka, hal itu wajib ditinggalkan.
“Apa cukup hanya dengan
meninggalkannya ke Hongkong, ayah?”
Tanya bunda sambil ngelus-ngelus kepalanya akibat ngejengkang tadi. “Kasihan dong, anak-anak bunda yang ada di Hongkong. Kalau status mereka
masih menjadi istrinya, dimana mereka terus ditekan dan dipaksa untuk
mengirimkan uang, sementara uangnya terus digunakan buat berzinah dan main
judi. Bukankah itu juga termasuk mendurhakai Allah? Dengan demikian, berarti
istrinya secara tidak langsung diajak bekerja sama untuk mendurhakai Allah?
Sebab jika tanpa kiriman dari istri, pastinya sang suami tidak akan berzinah
dan main judi. Boleh ndak sang istri minta cerai?” Tanya bunda, istri Sekh Konidin.
“Hemmm….”
“Yang jelas dong, yah. Jangan cuma hemmm…. ! Sudah mereka kerja dan cari uang
setengah hidup, terus hasil keringatnya dipakai
suaminya malah buat nyakitin hatinya. Apa difikir, wanita itu adalah boneka
yang ndak punya perasaan? Barangkali kalau mereka diperbolehkan untuk bercerai,
mereka akan bisa nabung buat masa depan anak-anaknya,” ujar bunda protes. “Sekalian buat modal kawin lagi
sama suami yang baru.” Kalimat yang terakhir ini diucapkan bunda, pelan sekali.
Sambil ngegremeng.
“Boleeeh….!” ujar Sekh Konidin singkat. “Eh bun, perasaan serial Sekh Konidin edisi ini, lagi ngebahas
perihal akhlak deh?! Kenapa pake ngulas masalah istri yang minta cere’ sih? Pokoknya selama suami memaksa
minta kiriman duit dari istrinya yang kemudian duit itu dipakai buat berzinah
dan berjudi, atau singkatnya segala perilaku durhaka kepada Allah, maka boleh
saja seorang istri meminta cerai dari suaminya. Cuma masalahnya, informasi yang bunda dapatkan
dari anak-anak bunda
di Hongkong itu
adalah bahwa suaminya telah menikah lagi, meskipun dengan cara nikah siri, tapi
kemudian dinilai sebagai zinah. Padahal antara menikah lagi (poligami) dengan
zinah itu sangat berbeda. Barangkali saking kesel dan sebelnya istri dimadu,
mereka mengatakannya sebagai zinah. Wah, itu salah kaprah bun. Seorang istri
yang meminta cerai hanya karena suaminya menikah lagi, itu yang akan mendapat
laknat dari Allah.”
“Hemmm….” Kini gentian, giliran
bunda yang cuma
berdehem.
“Kenapa cuma hemm? Hadoh, kek. Prikitiw
kek. Apa protes kek!”
“Kan katanya lagi ngebahas akhlak,
yah! Bukannya seorang istri akan dirajam dengan derita, jika selalu ngeles bila
dinasehati suaminya? Nah, bunda ndak mau dibilang istri yang jago ngeles kaya
tukang bajay,” ujar bunda sambil nyengir manja
dan langsung menyandarkan bagian
belakang kepalanya di
pundak suaminya.
“Terus kalau ada istri yang sering
teriak minta cere gara-gara suami
belum punya kerjaan, ditambah lagi ada laki lain yang lebih yahud, ngajakin
nikah, gimana yah? Ada istri yang tidak
bisa memuliakan suami karena merasa dialah mesin pencari uang, gimana yah? Ada wanita yang
memfitnah dan mencemooh para ustadz dan ustadzah, gimana yah?”
“Setan uripppp….!!!”
“Ndak boleh ditemenin dong ya,
ayah?”
“Buang aja ke empang, biar dicaplok ikan lele…!!!” ujar Sekh Konidin sambil bangkit dari duduk dan
ngeloyor pergi. Karuan saja bunda yang
sedang bersandar di pundak Sekh, jadi kehilangan sandaran. Gubrakkk….! Istri Sekh, jatuh lagi. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar