Asa yang terburai
Bag 3
oleh: Mahfudin Arsyad
Perjalanan
menuju rumah nenek di Jatibarang, tepatnya daerah Tenajar Lor, sudah makin
dekat. Hari mulai gelap. Azan maghrib berkumandang. Kuhentikan motor Harleyku di halaman sebuah masjid yang berada di daerah Widasari Pasar Jatibarang. Kuhampiri toilet masjid
untuk menumpang mandi dan ganti baju yang kotor akibat kecebur sawah di pertengahan jalan tadi. Usai shalat maghrib
dan membaca beberapa ayat Al-Qur’an, kuambil posisi pojok masjid paling belakang
untuk sekedar merebahkan tubuh dan mengistirahatkannya sejenak. Namun mungkin
karena saking lelahnya, aku jadi benar-benar
tertidur.
Dalam tidurku yang
sejenak itu, aku mimpi bertemu dengan seorang anak kecil berusia tiga tahun. Ia
berada ditempat yang sangat tinggi dan indaaah sekali. Harum mewangi aroma
tempat itu merebak sampai tempat aku berpijak. Rasanya luar biasa damai. Bocah
cilik itu melambaikan tangannya padaku. Aku tersenyum padanya. Dan kulihat ia
turun dari ketinggian dengan mengenakan sayap kecil di kedua belah pundaknya
mendekati aku. Persis seperti peri kecil yang cantik rupawan.
“Hai cantik, siapa nama kamu? Dan bagaimana bisa kamu
berada di tempat yang indah nan harum itu?” sapaku.
“Paman malaikat memberiku nama Aynillah. Aku berada di
syurga ini karena paman malaikat om,” ujar bocah cilik itu.
“Loh kok paman malaikat sih yang kasih nama ke kamu. Memangnya orang tuamu tidak memberi nama?”
“Aku dikeluarkan dari perut ibu dengan cara paksa pada
saat usiaku enam bulan dalam kandungan. Katanya, dahulu ibu malu jika aku
terlahir dan tumbuh besar. Sebab ayahku pergi meninggalkan ibu setelah menanam
benihku dalam perut ibu. Kata paman malaikat sih, aku di aborsi.”
“Aborsii…..???!!!” aku terperanjat.
“Iya om, aku adalah anak yang diaborsi oleh ibuku.
Memangnya aborsi itu apa sih om?” Tanya Aynillah
lugu. Sementara aku tak kuasa membendung air mata. Kudekati dan
kupeluk ia erat-erat.
“Sayang, darah dan daging yang mengalir dalam tubuh
mungilmu ini adalah darah dan daging ibumu. Berkat beliau, engkau bisa
bersemayam di dalam syurga. Tempat ini sulit sekali ditempuh kecuali oleh orang-orang yang
dicintai oleh Allah. Kamu bisa bersenang-senang di tempat ini, itu
karena Allah mencintamu nak,” air mataku makin berderai menyatakan hal
itu.
“Apakah nantinya aku bisa berkumpul bersama ibuku di syurga ini om. Aku rindu sekali pada ibu. Meskipun kadang-kadang aku bertanya dalam hati, mengapa ibu berbuat
setega itu terhadapku. Mungkin ibu merasa malu dengan kehadiranku. Atau merasa
terhina jika aku hidup bersanding dengan ibu di alam
dunia. Sehingga jasadku tercampakan di tong sampah. Saat itu aku kedinginan
sekali. Dan belatung-belatung mulai menghampiriku untuk
menghibur. Aku tertimbun dengan sampah-sampah
busuk hingga nafasku terasa sesak sementara ibu tak jua datang untuk menyelimutiku. Sampai akhirnya paman malaikat menjemputku. Om,…. apakah aku telah berbuat salah terhadap ibu, sehingga keberadaanku tidak
diinginkannya? Aku ingin minta maaf kepada ibu, om. Aku ingin dipeluk ibu. Aku ingin digendong ibu. Aku ingin main bersama
ibu, om. Ooom…. Ooomm…!!!”
Aynillah merengek dan mengguncang-guncang pundakku. Sementara fikiranku telah kacau diambang batas.
Sedih, pilu dan sangat menggetarkan jiwa, menyaksikan bocah cilik yang tak
berdosa harus sendirian, meski di tempat yang sangat
indah nan mempesona. Anak yang sangat merindukan belai dan kasih sayang seorang
ibu. Anak yang begitu mendambakan bisa berkumpul bersama ibunya di dalam syurga. Namun entah, akankah harapannya itu dapat terkabulkan, kecuali jika ibunya mau bertaubat dan bersungguh sungguh
menempuh jalan hidup yang diridhai Allah. Pastinya, Allah
akan mempertemukan ibu dan anaknya yang pernah ia aborsi dahulu.
Ya
Allah gusti, betapa malang seorang anak yang tidak diharapkan berada dalam
kandungan seorang wanita yang terbuai dengan kenikmatan sesaat. Wanita yang
termakan oleh bujuk rayu lelaki yang hanya ingin mencari kepuasan nafsu
bejatnya hingga akhirnya mengorbankan darah dagingnya tercabik-cabik oleh tangan tangan jahanam yang mengeluarkannya
dengan cara paksa dari rahim yang suci. Wanita tak berhati yang mencampakkan
darah dagingnya ke tempat sampah dan dikerubungi belatung-belatung yang menjijikan. Tidakkah ia sadar dan kemudian bertaubat
kepada Allah, yang pada akhirnya ia bisa bertemu dengan anak aborsinya di dalam syurga untuk memohon maaf karena telah menyia- nyiakan hidupnya.
“Tobatlah…tobaat… tobaaatttt…..!!!!” Aku mengigau hingga berteriak. Karuan saja orang yang
berada didekatku loncat lantaran kaget. Mataku mendelik, sementara nyawa belum
kumpul semua di badanku. Antara sadar dan tidak, aku melihat ada sosok
putih berdiri di hadapanku. “Pocong…pocooong….!!!”
Jeritku jisteris sambil menutup wajah dengan kedua telapak tanganku.
Seblakkk…..
ujung sajadah menghantam kepalaku membuat aku kini benar-benar tersadar.
“Tidur di tempat shalat perempuan. Pindah sana…!” ujar sosok putih dihadapanku
yang ternyata nenek-nenek yang baru saja selesai shalat maghrib.
“Iy… iya bu… maaf njih…” ujarku
sambil ngeluyur membungkuk pergi meninggalkan nenek galak itu.
Aku
duduk termenung di tangga pelataran masjid sambil menunggu waktu isya. Lamunanku masih melayang memikirkan bocah cilik di dalam syurga dalam mimpiku tadi. Aku
tersenyum sendiri. Tiba-tiba, ada wanita muda mendekatiku
sambil marah tak karuan.
“Ki uwonge sing ngehamili reang. Ndika beli tanggung
jawab. Gelem mengkonone bae, beli gelem dirabi. (Ini dia orang yang menghamili saya, anda tidak mau bertanggung jawab. Mau begituannya saja tapi tidak mau menikahi)” ujar wanita itu
sambil mengarahkan telunjuknya ke jidatku. Spontan
aku berdiri dari duduk. Aku melongo dan tolah toleh kebingungan. Namun wanita
itu terus saja mendesakku, bahkan hingga memukuliku. Aku
menghindar, namun ia terus mengejar, hingga aku berlari kecil menuju gerbang
masjid. Semua orang menyaksikan kejar mnegejar itu. Barangkali diantara mereka
ada yang berfikir, “lumayan tontonan gratis. Kayak di film India, main kejar-kejaran di masjid.”
Untung
saja ada lelaki setengah baya menolongku dengan memegang serta menenangkan
wanita muda tersebut.
“Tenang nok, tenang… kien mah dudu lanange sira. Sing
kiwin mah langka brewoke. Blesak. Bli kaya lanange ira, guanteng pisan,” ujar bapak tua itu
kepada wanita yang sepertinya mengindap kelainan jiwa.
“Ooh, kiwin mah blesak tah?” kata wanita tadi.
“Iyyaaa, kiwin blesak pisan. Masih
ganteng lakine ira nook…” ujar bapak tua lagi yang kemudian wanita itu
mengangguk serta pergi meninggalkan kami.
Setelah
keadaan mulai terkendali, aku mendekati bapak tua dan mengajaknya berbincang.
“Kalau boleh tahu, yang bapak bicarakan tadi kepada
wanita itu, apa artinya ya?”
“Oh tadi itu mantra pengusir syetan yang ada dalam
tubuhnya agar mau meninggalkan kamu,” jelas pak tua. Kemudian beliau mencari posisi duduk di emperan masjid, dan kududuk di sebelahnya. “Namanya Ruwetwati. Dia
stress setelah mengaborsi anaknya,” lanjut pak tua.
“Stress…??? Aborsi…..???” aku terbelalak mendengar akhir
kalimat Pak Tua. Sempurna
sudah keberuntunganku hari ini. Sudah kecebur sawah, diomeli nenek-nenek, dikejar orang gila pula. Apesss…!
Tapi
diam-diam, aku jadi teringat akan kata aborsi yang
dibicarakan oleh bocah cilik dalam mimpi.
“Iya, dahulu ia memiliki kekasih
yang berjanji akan menikahinya, sehingga kemudian ia pasrahkan mahkota yang
paling berharga kepada lelaki tersebut. Namun setelah hamil, justru lelaki itu
malah pergi meninggalkannya entah kemana. Mulai
saat itu, hidupnya kacau. Hingga ketika janinnya mulai membesar, ia nekat
mengaborsinya. Tapi justru setelah janinnya keluar dari perutnya, ia mulai menangis
dan tertawa sendiri. Sejak saat itulah Ruwetwati
menjadi gila. Setiap ada lelaki asing di kampung ini, ia
anggap sebagai lelaki yang menghamilinya,” terang pak tua yang disambut oleh kumandang azan isya.
Pak Tua pamit untuk berwudhu, sementara aku jadi merenung
kembali. Hatiku bertanya- tanya, apakah ada kaitannya wanita muda yang stress itu
dengan bocah cilik yang ada dalam mimpiku tadi ya? Aku berdiri dan bergegas
mengejar Pak Tua.
“Kapan kejadian itu pak?” tanyaku
“Tiga tahun yang lalu,” ujar Pak Tua dan meninggalkanku lagi.
“Astagfirullaaah….! Jangan-jangan….!” Aku terkejut dan benakku langsung menebak. “Ah... wallahu a’lam,” aku langsung
berwudhu dan masuk ke dalam masjid untuk melaksanakan shalat isya berjamaah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar