Asa yang terburai
Bag empat
oleh; Mahfudin Arsyad
Selesai
melaksanakan shalat isya berjama’ah. Aku bersiap
untuk melanjutkan perjalananku yang tidak seberapa jauh lagi. Kukenakan jaket
kulit hitam dan helm dan mulai menstater motor harleyku.
“Brummm…. Brummmm….”
Hidup memang begitu, tidak
selalu sesuai dengan apa yang dikehendaki manusia, sebab kehendak selalu
terwujud dari sesuatu yang berputar dalam otak manusia. Orientasi berfikir seseorang menentukan
kehendaknya. Maka, ilmu sangat berperan dalam menentukan kehendak. Sedangkan
keilmuan manusia sangat terbatas, apalagi jika dibandingkan dengan ilmu Allah.
Inilah sebabnya, kehendak manusia tidak akan
terlaksana jika tidak sesuai dengan kehendak Allah. Sebab barangkali apa yang dikehendaki oleh
manusia, (karena keterbatasan ilmunya itu), jika sampai terkabul hanya akan
membuat dirinya menderita. Sedangkan apa yang Allah kehendaki, pasti yang terbaik buat manusia. Namun sayang, keterbatasan ilmu manusia membuat ia tidak bisa menerima kehendak Allah.
Seorang
murid, hendaknya ketika sedang dibimbing oleh gurunya, tidak membantah dan
menyangkal segala arahan dan bimbingan yang diberikan gurunya. Seperti nabi
Musa as, mestinya ia menerima saja terhadap apa yang
dilakukan oleh nabi Hidir as. Namun karena penyangkalan yang
dilakukan oleh nabi Musa, membuat nabi Hidir pergi meninggalkannya. Dan
terpaksa nabi Musa harus bersusah payah untuk bisa bertemu dengan Tuhan ketika
di bukit Tur itu.
Inilah
yang membuat banyak sekali ummat manusia yang menderita. Satu alasan
yang pasti, karena mereka sering memaksakan kehendaknya. Padahal kehendak
tersebut belum sesuai dengan kehendak Allah.
Motor
Harley terus kupacu. Udara malam dingin menusuk sum sum. Dan malangnya, gang menuju Tenajar Lor samar
terlihat. Tak pelak,
aku harus kebablasan hingga daerah Larangan. Kuberhenti
sejenak untuk mengingat-ingat kembali jalan yang sudah
cukup lama tak ku kunjungi itu. Aku mampir di sebuah kedai
gubug yang berjejer di pinggir jalan itu. Numpang ngopi sambil me-refresh
ulang memoriku.
Baru
saja kopi kuseruput, datang seorang wanita muda belia
menghampiriku. Wajahnya lumayan cantik.
Ia duduk merapat di sisiku. Hemmm, lumayan kikuk dan
risih juga aku dibuatnya.
“Mau yang anget mas? Udah dari kemarin nih
belum ada pelanggan. Murah kok mas, cuma dua ratus ribu aja!” tawar wanita itu yang lebih
pasnya dibilang ABG. Sementara aku mendadak tersedak, mendengar harga yang anget mahalnya sampai
dua ratus ribu.
“Kalau yang anget sampe dua ratus ribu,
terus kopi ini berapa harganya mbak?” Tanyaku yang benar-benar tak faham apa maksudnya.
“Ah, mas ini pura-pura bego deh….”
Aku
langsung garuk kepala yang tidak gatal. Karena aku benar-benar tak mengerti apa maksudnya. Dan entah
apa salahku, tiba-tiba ABG itu pergi meninggalkanku
sambil ngegrundel.
Tak ingin menambah masalah, lekas kubayar
kopi itu dan pergi dari tempat tersebut.
Meniti jalan perlahan dan
seksama, alhamdulillah akhirnya setelah larut malam, kutemui juga jalan
itu dan sampai di tempat tujuan. Kediaman
nenekku yang sudah berusia 98 tahun, namun masih saja rajin melaksanakan puasa Daud.
Sambutan
yang sangat hangat, malam itu kudapatkan dari nenek dan bibiku. Mereka
melepaskan jaketku. Setelahnya, aku langsung mengeluarkan semua isi dalam box Harleyku yang sengaja kubawa sebagai oleh-oleh dari Jakarta buat nenek dan bibi.
Ku
pilih teras rumah yang menghadap jalan untuk merehatkan tubuh yang telah letih
melakukan perjalanan seharian penuh. Nenek dan bibi menemaniku berbincang
bincang sambil mengusir lelah.
“Bibi dapet majalah dari tetangga yang kerja di Hongkong. Bagus deh majalahnya,” ujar bibiku
yang kemudian masuk ke dalam rumah untuk mengambil
majalah yang hendak beliau tunjukan kepadaku. Kulanjutkan berbincang dengan
nenek.
“Memangnya disini banyak yang kerja di Hongkong ya nek?”
“Iya nak, bahkan semua yang
tadinya kerja di Arab dan Malaysia, sekarang pindah semua kerjanya jadi ke Hongkong.
Habis katanya di Hongkong gajinya besar sih. Liat aja, rumah-rumah disini sudah
pada tembok semua. Padahal
tadinya bilik dari kulit bamboo,” terang nenek.
“Alhamdulillaaaah….” lepasku. Terlihat bibi keluar sambil membawa
majalah irsyad. Aku tersenyum simpul.
“Yang kasih majalah ini, anaknya nyantren di
pondok Man Ana loh.”
“Hahhh? Masa sih? Siapa namanya?” tanyaku
bertubi tubi. Seketika obrolan kami jadi makin seru. Tak terasa malam sudah
mulai menginjak tiga perempat malam. Nenekku pamit ke dalam untuk melaksanakan tahajud. Namun tiba-tiba mataku terbelalak melihat seseorang yang
tak asing dalam penglihatanku. Dialah ABG yang
meninggalkanku sambil ngegerundel. Karuan saja aku bertanya kepada bibiku
tentang siapa dia. Awalnya beliau tidak menjawab, namun karena melihat aku
bersiap untuk berdiri, bibi menahan tanganku seraya mengancamku dengan suara bisik
yang menekan. “Duduk, jangan godai dia….!!!”
“Iddiiih… siapa yang mau godain. Max mau ke
kamar mandi sebentar kok.”
“Oooh… kiraaain….”
Aku
berdiri untuk ke kamar mandi sebentar, lalu kembali melanjutkan perbincangan
yang makin menarik dengan bibi.
“Emangnya dia itu siapa sih bi?” tanyaku
mengawali.
“Aah, bukan siapa siapa kok. Sudah yuk, kita
tidur aja. Sebentar lagi shubuh. Lumayan kamu bisa
ngerebahan sebentar. Wis ndak usah difikirkan wanita itu!” ulas bibi
mengalihkan pembicaraan. Aku faham maksud bibi mengajakku tidur, sepertinya
beliau tidak ingin membicarakan orang lain. Namun karena niatku mendengar
cerita tentang anak itu untuk ‘pelajaran hidup’ ku, dan bukan untuk
mengedepankan aib, maka aku mengancam bibi.
“Ya sudah, kalau begitu Max mau nyamperin dia ah. Kali aja ada jodoh.”
“Hussssttt…. Tengeling….!!! Aja Max…. ajaaaaa….!!!”
“Ya kalau aja, certain dong siapa dia!”
“Sejak dia berumur delapan tahun, orang tuanya bercerai. Ibunya berangkat ke Hongkong untuk bekerja. Anaknya dititip ke
tetangga. Setiap bulan, ibunya selalu kirim uang yang berlebih buat anaknya.”
“Namanya siapa bi?”
“Wanti. (bukan nama sebenarnya)”
“Ketika wanti lulus SD, tetangganya menyarankan
kepada ibunya untuk memasukkan Wanti ke pesantren. Namun ibunya ngengkel.
Katanya takut kuper lah, takut ndak bisa mengikuti perkembangan
zaman lah dan seribu ketakutan lainnya. Akhirnya Wanti masuk SMP. Karena setiap bulan ibunya
memanjakan Wanti dengan uang, Segala
keinginannya selalu dituruti. Dari mulai pakaian, handphone dan lain sebagainya
yang serba kecukupan, Wanti tercetak menjadi anak yang
‘semau gue’. Sering terlihat anak-anak laki kumpul di rumahnya sampai larut malam. Di sisi lain,
ibunya berkenalan dengan seorang lelaki lewat fesbuk. Kedekatannya makin hari
makin akrab. Ibunya meminta kekasihnya itu untuk sering-sering memantau anaknya. Awalnya memang baik.
Namun lama kelamaan, perut Wanti membesar. Karuan saja hal
ini memicu tetangganya, apalagi tokoh masyarakat untuk ikut campur dalam
musibah Wanti. Pak RT terus menekan Wanti untuk mengatakan siapa yang
menghamilinya, agar lelaki itu bertanggung jawab. Wanti kemudian menyebutkan
nama lelaki tersebut yang ternyata kekasih ibunya sendiri. Jelas saja semua yang mendengar jadi murka.
Namun sayang, tidak satupun orang yang tahu dimana tinggal lelaki itu. Pada
bulan kelima, kandungan Wanti keguguran. Ia kemudian
dirawat di rumah sakit. Di saat itulah, akhirnya sang ibu baru menyesal atas
keputusannya terhadap masa depan anak. Kini usia wanti sudah beranjak 16
tahun. Kelakuannya makin jadi. Bahkan kini ia menjadi wanita penjual kehangatan
di daerah Larangan sana. Padahal dia adalah anak satu-satunya,” tutur bibi sambil sesekali menyeka air matanya.
“Kenapa dia harus menjual diri? Bukankah ibunya
selalu mencukupinya dengan kiriman uang?”
“Itulah cung. Sejak saat
itu, ibunya tidak lagi mengirimkan uang buat Wanti, sehingga Wanti harus mencari uang sendiri. Katanya sih,
ibunya disana terjebak hutang bank, lantaran pacarnya yang dahulu minta motor.
Sekarang hanya tingga asa yang terburai.”
Aku
menghela nafas panjang. Panjaaaang sekali. Sepanjang harapan Wanti sebetulnya. Sebab aku yakin, Wanti masih memiliki harapan dalam hidupnya.
Memang, dalam hal ini, ibarat nasi telah menjadi bubur. Tapi bukankah belum
terlambat? Bukankah buburpun masih bisa disantap? Tinggal tambahkan serpihan
ayam, tambah bawang goreng dan penyedap rasa, maka ia
akan menjadi bubur ayam yang lezat.
Belum
terlambat Wanti…… bathinku bergumam.
Lama
ku merenung, hingga terdengar lantunan azan shubuh berkumandang. Sayup-sayup memanggil manusia untuk berwudhu dan
sujud dihadapan gusti Allah. Pangeran jagad raya. Memasrahkan diri dan menyerahkan kehendak
pribadinya kepada kehendak Allah yang sejati.
Usai shalat subuh
berjamaah di musholah dekat rumah nenek, aku membaca Al-Qur’an sebentar. Dan lepas dari itu, berkeliling
jalan pagi sambil mencari tukang nasi uduk.
Hari
mulai terang, namun belum juga kutemui tukang nasi uduk. Kuhampiri seorang anak
lelaki berusia sekitar 15 tahun.
“Dik, dimana ya saya bisa dapatkan orang yang
jual nasi uduk?”
“Oh, yuk saya antar. Sekalian saya juga mau
beli nasi uduk kok mas.”
Aku
dan Dibyo, nama anak itu. Berjalan menghampiri tukang nasi uduk yang tidak jauh
dari lokasi kami bertemu.
“Pesen nasi uduknya dua ya bu. Dimakan disini
saja bu.”
“Oh ndak mas, saya makan di rumah saja,” sahut Dibyo.
“Iya mas, nasi Dibyo mah pasti dibawa pulang,
karena dia mau nyuapi neneknya yang sudah sepuh. Apalagi ini hari senin.
Biasanya Dibyo puasa,” kata ibu penjual nasi uduk. Aku melongo
mendengar penuturan si penjual nasi. Tak sadar bahwa mulutku ternganga. “Awas mas, nanti kemasukan lalat tuh mulutnya.”
“Heppp....” langsung kututup
mulutku. Jiwaku menerawang tak karuan mendengar kenyataan di zaman sekarang,
ternyata masih ada anak yang begitu sangat berbakti kepada orang tuanya. Apalagi neneknya. Padahal biasanya seorang
cucu akan merasa acuh bahkan tak begitu peduli kepada neneknya. Ini lagi di usia yang sangat belia. Subhanallah,
kesadaran hidupnya sudah melebihi kebanyakan manusia yang umurnya jauh diatas
dia. Aku jadi teringat akan kisah nabiyullah Musa as. Ketika
beliau bertanya kepada Allah tentang siapakah orang yang akan menjadi teman
dudukku di dalam surga? Kemudian Allah menjawab, “yang akan menjadi teman dudukmu di dalam surga adalah orang yang sebentar lagi
lewat di depanmu.” Tak lama
lewatlah anak muda di depannya." Musa bergumam apa
istimewanya anak muda ini". Diikutinya pemuda yang sedang menuju pasar. Ia
belanja sayuran dan bahan makanan. Kemudian ia pulang dan memasaknya. Selesai
matangnya makanan ia masuk ke dalam sebuah kamar, ada seorang wanita tua
didalamnya, ia duduk disampingnya, dan menyuapi wanita tua itu. Nabi Musa terus
perhatikan kedua manusia ini dari jendela rumah mereka.
Setiap
disuapi makanan wanita itu komat kamit, dan terus komat kamit selesai disuapi
sampai habisnya makanan. Dan si pemuda kembali ke belakang ruangan. Nabi Musa
segera menemui wanita itu dan bertanya, "Wahai
ibu, aku perhatikan setiap disuapi makanan engkau komat kamit seperti membaca sesuatu,
apa yang kau baca sesungguhnya ? Wanita itu menjawab, “Aku hanya
mendo’akan anakku Allaahummaj 'al ibnii jaalisan
ma'a muusaa fil jannah (Ya Allah jadikan
anakku ini teman duduk Nabi Musa di dalam surga). Allahu Akbar !!!!
Nabi Musa menangis dan berkata. "Do’amu telah dikabulkan Allah.....”
Aku pun lantas bertanya kepada ibu penjual nasi
uduk “siapakah ibu yang beruntung memiliki anak seperti Dibyo ini bu?”
“Itu anaknya bu Marsih,
beliau kerja di Hongkong,” jawab penjual nasi uduk singkat.
“Hahhhhh…..????!!!!”
(bersambung)
salam buat sairoh cah kelurahan, Silvi dan sri wahyni dari keluarga besar MTs Al-Kautsar Unggulan 712 Sawah Baru Ciputat
BalasHapus