Asa yang terburai
Bagian dua
oleh: Mahfudin Arsyad
Sebetulnya berat hatiku untuk meninggalkan Ardi dalam keadaan begitu. Namun
apa boleh dikata, ini bukan hak-ku untuk mencampuri kehidupan orang lain.
Apalagi ada keganjilan yang kurasa pada diri pak RT dan ibu setengah baya itu
tentang kehidupan Ardi. Tapi... ah, itu bukan urusanku.
Kumasukkan kunci Harley-ku pada tempatnya.
Namun tiba-tiba, seperti
teringat akan sesuatu. Aku diam sejenak. Rasanya aku pernah melihat wajah pak RT itu sebelumnya. Sebentar….! Yap,
aku ingat! Ingat sekali. Bahkan teramat jelas.
Saat di pertengahan jalan sebelum aku bertemu dengan Ardi, aku
berhenti di rumah makan di bilangan Ciasem yang jauhnya hanya beberapa
kilometer dari Cikampek untuk
sekedar beristirahat, makan dan shalat
zuhur. Kulihat pak RT itu
bercengkrama bersama beberapa wanita berpakaian minim sambil pesta alkohol. Tanpa sengaja, perbincangan
mereka masuk ke telingaku, karena
memang jarak antara aku dengan mereka tidak begitu jauh.
Meski aku acuh dengan apa yang mereka
perbincangkan, namun secara otomatis telingaku menyampaikan apa yang didengar ke dalam otakku serta merekamnya. Duh Gusti, dari ceritanya, rupanya pak RT itu seorang lelaki yang suka mempermainkan wanita. Ia bercerita
bahwa dahulu ia memiliki kekasih. Sekian lama ia berpacaran dengan kekasihnya, Saminah namanya. Namun mendadak Saminah dijodohkan oleh kedua orang tuanya dengan lelaki lain. Meski Saminah telah menjadi milik orang
lain, pak RT tidak mau
mengerti. Ia menuntut kesetiaan dari Saminah. Dasar tukang mabok, pak RT mengancam Saminah
untuk membunuhnya dengan dalih cinta mati, jika Saminah tidak mau tidur bersamanya.
Dengan berat hati Saminah mencuri-curi waktu dari suaminya untuk menuruti
permintaan bejat pak RT. Akhirnya
perzinahan itu terjadi juga. Merasa niatnya
berjalan mulus, pak RT
mengulanginya lagi, lagi dan lagi. Sampai kemudian Saminah hamil. Awalnya suami Saminah tidak tahu bahwa istrinya hamil
dengan orang lain. Namun setelah
beberapa tahun kemudian, ketika Saminah
pergi bekerja keluar negeri,
terjadi keributan antara suami Saminah
dengan pak RT, entah karena apa. Dalam kondisi
mabuk, pak RT membuka semua
rahasia yang dipendam oleh Saminah.
Karuan saja suami Saminah
jadi kalap dan kemudian membanting anak Saminah yang pada saat itu masih berumur tiga tahun. Untung saja
seorang ibu tetangganya cepat menolong bocah tak berdosa itu sehingga nyawanya
dapat tertolong. Sejak saat itulah, suami Suminah jadi masa bodoh akan kehidupan anaknya sendiri.
Mendadak aku terkejut bukan kepalang. Jangan
jangan…..???!!!
Aku bergegas turun dari motor Harley-ku dan
setengah berlari menghampiri orang-orang
yang masih berada di dalam rumah Ardi.
“Maaf bu, siapa nama ibunya Ardi?” tanyaku kepada ibu
setengah baya yang terlihat masih menghitung uang pemberianku buat Ardi tadi.
“Saminah,” ujarnya pendek dengan rokok yang masih terselip di bibirnya tanpa berhenti menghitung duit.
“Astagfirullah….!”
Jantungku hampir saja copot.
Namun aku coba untuk bersikap wajar. Perlahan kutarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan-lahan. Kulakukan hal itu berulang
kali. Setelah kurasa aku dapat menguasai diri, aku duduk kembali di hadapan
ibu itu.
“Mohon
maaf bu, jika ibu berkenan bolehkah Ardi ikut bersama saya dan tinggal di rumah saya?” tawarku dengan nada rendah.
“Hey,
jangan sok jadi pahlawan ya.” Sambar pak RT. “Zaman sekarang ini banyak orang yang
berpura-pura baik tapi
ternyata durjana. Kelihatannya aja orang kaya, padahal kerjaannya ngejual anak- anak kecil atau malah menyuruh
untuk jadi pengemis di pinggir jalan,” lanjutnya.
“Wow,
wow, wowww…. Sebentar pak RT.
Jangan lantas berbicara kasar begitu dong. Ndak baik,” ujarku sambil berdiri.
“Halaah,
udah deh. Mending sekarang kamu pergi sana. Kalau tidak pergi nanti saya
panggil warga dan saya teriakin maling, kamu…!!!” bentak pak RT.
“Yap.
Tenang, tenang…! Saya akan pergi. Namun jika pak RT berubah fikiran, silahkan datang ke rumah saya. Ini alamat saya,” ujarku sambil menyodorkan kartu nama
kepada ibu setengah baya yang masih menghitung duit.
Ku starter motor Harley-ku. “Brummm, bruuummm…” tak sengaja kulihat
wajah Ardi dibalik jendela
kamarnya sebelum aku mulai beranjak pergi. Entah mengapa dada ini terasa sesak
sekali memandang wajahnya yang lugu dan pasrah itu. Ah… kutarik nafas dalam-dalam,
kuhembuskan dan kutancap gas meninggalkan tempat itu.
Beberapa saat anganku masih melayang memikirkan bocah
cilik tak berdosa yang harus menerjang kerasnya kehidupan. Ya Allah,
Engkau adalah Tuhan Yang Maha mampu mengatur kehidupan ini.
Engkau Tuhan Yang Maha Bisa menjaga setiap hamba-Mu. Jagalah Ardi. Sayangilah ia. Tambahkan kekuatannya
dalam menerjang hidup ini. Allah Gusti,
Tuhan semesta alam, tiada yang dapat menolak kehendak-Mu. Maka jadikanlah kehendak Ardi sesuai dengan kehendak-Mu.
Tanpa terasa air mataku berlinang membasahi wajahku. Lekas kuusap agar tidak
menghalangi pandanganku.
Kunikmati setiap hempasan angin yang menerpa
wajahku. Sesekali kutolehkan pandanganku terhadap apa yang menarik bagiku.
Ketika telingaku mendengar suara tarling yang begitu kencang, segera kuarahkan
mataku untuk melihat apa yang terjadi. Ow, rupanya ada artis jalanan yang
menggunakan gerobag sebagai studio musiknya, sementara seorang wanita ber-make up menor bernyanyi sambil mengoyang-goyangkan pinggulnya dan berjalan
dari rumah ke rumah. Aku tersenyum
kecil. Tak sadar jalan dihadapanku berlubang besar. Kuhantam dan motorku oleng.
Kemudi jadi tak terkendali…. Huwaaaa…. Jeburrrr….!!! Harley-ku mengajakku
berenang di galengan sawah.
Beberapa orang berlari menghampiriku. “Alhamdulillah,
emang dasar orang baik, selalu saja ada orang yang datang menolong,” ujarku dalam hati. Ketika orang-orang datang mendekat, mereka
langsung mengangkat motorku dan membiarkan aku yang masih terduduk berendam
setengah badan di pinggir sawah.
“Hahhh…???!!!”
aku melongo kaya orang bego. Ketika orang orang masih dalam upaya penyelamatan
Harley, syukur ada juga seseorang yang berteriak, “pengemudi motornya kemana
nih?”
Merasa ada yang mencari, aku menjawab teriakan
itu. “Saya disini
maaassss…!!!”
Seseorang yang tadi berteriak menghampiriku.
Bathinku bergumam, “alhamdulillah.”
Namun tak disangka dan tak diduga, tiba-tiba orang yang mendekatiku itu menghujat persis di depan wajahku.
“Orang
kampung, jangan mimpi punya motor bagus kaya gitu yaaa….!!!” Kemudian ia pergi
lagi meningglkanku.
Aku melongo lagi. Kali ini lebih bego dari
orang bego.
Merasa tak ada yang memanjakan aku dengan
mengangkat tubuhku, kuputuskan
untuk bangun sendiri dan berdiri. Ajaib. Allah telah menyelamatku tanpa lecet
sedikitpun. Barangkali ini adalah keberkahan dari sedekah yang pernah
kulakukan. Sebab memang Rasulullah pun bersabda demikian. Inna sodaqota tanfa’ul bala.
Sesungguhnya sedekah dapat menghalau malapetaka. Rupanya beginilah cara Allah
membalas kebaikan seorang hamba. Pada saat hamba itu sangat membutuhkan
pertolongan, maka Allah akan memperhitungkan seberapa banyak kebaikan sang
hamba untuk menerima balasannya pada saat itu.
Setelah semua orang percaya bahwa aku adalah
pemilik motor besar itu, aku di persilahkan pergi melanjutkan perjalanan
panjangku. (bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar