bag. 1
Oleh ; Mahfudin Arsyad
Liburan panjang kenaikan
nabiyullah Isa al-Masih tanggal 17 Mei 2012 lalu, memberikan kesempatan buatku
untuk menikmati kembali Harley Davidson yang telah lama tergeletak di garasi
samping rumahku. Bayangkan,
dari sejak kubeli tiga tahun yang lalu, baru tiga atau empat kali saja
kugunakan. Maklum, kesibukanku mendirikan sekaligus mengasuh beberapa pesantren,
sangat menyita waktu. Aku berinisiatif untuk meminta izin kepada istri dan anak-anakku untuk berkunjung ke rumah nenek di daerah Jatibarang, Indramayu.
Tadinya, aku ingin
mengajak semua anggota keluargaku. Namun bagi
anak- anakku yang
masih sekolah, liburnya hanya pas pada tanggal yang merah saja, itu berarti
hanya satu hari. Namun jika yang kuajak hanya mantan pacarku yang kini sudah
menjadi istri, nanti tak ada yang menjaga anak-anak di rumah. Ya sudahlah, kuputuskan
untuk berangkat sendiri saja.
Setelah semua perlengkapan siap
kumasukkan ke dalam box
Harley, kutekan tombol starter motor, lalu khas suaranya menggema. ‘Dug dug dug…..’ membuat para
santri yang sedang belajar di kelas,
memanjangkan lehernya untuk sekedar bisa sedikit mencuri pandangan dari jendela,
siapa gerangan si pengemudi motor gede tersebut. Satu suara lirih memberi
kabar, “ayah….”. Maka kemudian
semua wajah melongok ke jendela
kelas dan berteriak saling bersautan.
“Ayaaaah….. wowww, kereeen….!
Mantaaabbhh…!” dan sautan-sautan lainnya. Kuangkat jempol tanganku dan kutujukan buat mereka
sebagai respon atas sautan mereka. Kaca helm kubuka, lalu kutunjukan gigiku
juga pada mereka, yang kemudian dibalas oleh ramainya tawa sumringah dari
beberapa ruang kelas.
Aneh memang,
sebuah pemandangan yang tidak lazim terjadi antara seorang kyai dengan para
santrinya. Karena memang kuciptakan ikatan emosi terhadap mereka lebih dekat dari
sekedar seorang kyai kepada santri. Aku lebih menganggap mereka seperti anak-anak kandungku sendiri, bukan
santri yang sekedar datang untuk
belajar, kemudian pulang lagi. Aku sadar, bahwa beberapa diantara anak-anak santriku yang berada di pondok
adalah anak yang sangat membutuhkan kasih sayang serta perlindungan dari
seorang ayah. Anak yang jarang sekali mendapatkan usap lembut di kepala dari orang tuanya. Anak yang butuh tempat
curahan hati untuk sekedar mengadu akan masalah kecil dalam hidupnya. Anak yang
ingin prestasinya dapat dilihat dan mendapat sambutan. Dan masih segudang lagi
alasan yang membuataku begitu menyayangi mereka.
Bahkan pernah
ada seorang ibu muda membawa anak gadisnya kehadapanku. Tiba tiba, ia menangis
dan bercerita.
“Pak kyai, saya pernah berbuat
salah. Dahulu, akibat pergaulan bebas di usia muda, saya hamil di luar nikah. Namun sayang, lelaki yang menghamili saya pergi entah
kemana. Akhirnya saya rawat anak saya ini hingga cukup usia untuk saya
tinggalkan bekerja di Hongkong. Namun
ketika anak saya mulai beranjak remaja, adik lelaki saya yang seharusnya
sebagai seorang paman bisa menjaga anak saya, tapi malah berusaha beberapa kali menggagahinya. Mendengar hal
itu, saya minta izin cuti untuk pulang dan menikah dengan seorang lelaki.
Berharap suami saya nantinya bisa menjaga anak perempuan saya yang mulai tumbuh
kembang menjadi seorang gadis remaja ini. Namun malang nian nasibnya, justru
suami saya yang baru saya nikahi, malah tega merenggut keperawanan anak saya.”
Ibu muda itu menangis. “…. Saya takut sekali, ia hamil. Namun alhamdulillah, setelah tiga bulan, tak ada
kelainan sedikitpun terjadi di perut anak
saya. Maka saya putuskan untuk izin pulang sekali lagi kepada majikan dan
mengantar anak saya ke tempat ini.”
Dan memang berangkat dari
permasalahan seperti inilah aku bertekad membuat pondok pesantren. Namun ketika
maksud ini kusampaikan pada istriku, beliau malah memotivasi. “Jangan tanggung-tanggung ayah. Pesantren jangan
hanya sekedar buat tempat penitipan anak, tapi juga sebisa mungkin untuk tempat
penggojlokan mental dan bakat serta kreativitas, agar anak bisa menjadi
manusia hebat dan berprilaku Islami di masa yang
akan datang.” Maka mulai sejak itu, aku kerahkan seluruh keuntungan dari
beberapa perusahaan yang ku kelola, untuk membangun sarana dan berbagai
fasilitas untuk pengembangan anak di pesantren.
Dan alhamdulillah, niatan itu akhirnya terwujud
juga dengan berdirinya beberapa pondok pesantren modern di beberapa wilayah.
Aku ingin, anak-anak yang
tadinya tersisihkan, kelak muncul sebagai manusia yang sangat dibutuhkan oleh
sebanyak-banyaknya
ummat manusia. Aku ingin mereka bisa membalas budi kepada orang tuanya dengan menjadi manusia
‘unggul’ yang akan mengangkat harkat dan martabat diri dan orangtuanya. Oleh karenanya, sejak
dini kuwajibkan kepada seluruh anak-anak santriku untuk berkomunikasi menggunakan bahasa dunia,
seperti bahasa Arab dan Inggris, agar kelak mereka dapat
menerjang kancah kehidupan modern di masa yang akan datang.
Rasa semangat yang membara
seperti terpancing untuk muncul kembali. Setiap aku melihat senyum sumringah
dari anak-anak santriku, tak sadar bahwa aku telah melamun beberapa saat,
sementara kaki-ku reflek menyentuh gigi perseneleng Harley yang belum siap ku kendarai.
Akibatnya, motor Harley yang
kutumpangi mendesak maju. Bruukk…! Harley menabrak pos kecil di samping
gerbang. Apes... Sudah nabrak, batok helmku
tertimpa genteng yang ikut runtuh.
Perjalanan menuju Jatibarang indramayu, memang
sangat mengasyikkan. Apalagi dengan mengendarai motor besar. Terasa lebih
santai dan elegan. Namun baru sampai di daerah Sukamandi, rintik hujan turun.
Makin lama kian menderas. Setiap
tetesnya menyapa wajahku dengan lembut, ia bergulir begitu riang membasahi
wajah dan seluruh tubuhku. Bergegas kucari tempat berteduh untuk sekedar
menghindar dari bahaya yang mungkin bisa saja terjadi akibat hujan lebat.
Kudapati gubug reot di pinggir
jalan raya. Rupanya disitu sudah ada seorang bocah cilik yang juga ikut
berteduh. Setelah ku sanggah Harleyku dengan standar, aku mengambil
posisi berteduh di samping
bocah itu. Dalam keheningan kami menanti hujan mereda, kudengar gemeletuk gigi
sang bocah, mungkin akibat kedinginan. Kubungkukkan tubuh agar bisa sejajar
dengannya. Kupegang pipinya dengan kedua telapak tanganku.
“Dingin ya nak?” sapaku, yang
dijawab hanya dengan anggukan kepala. Lekas kubuka jaket yang sedang kukenakan
kemudian kuselimutkan ke tubuh
mungilnya. “Kok hujan-hujanan? Memangnya dari mana?”
tanyaku lagi.
“Abis ngamen,” jawabnya ringkas.
“Nanti kalau hujannya sudah reda,
biar om antar pulang kerumahmu ya!” tawarku, yang dijawab hanya dengan anggukan
kepala. Aku terus memandangi tubuhnya yang gemetar. Tiba-tiba saja, aku teringat akan
putraku yang baru berusia 5 tahun. Persis sebesar bocah ini. Hatiku pilu. Lalu
kudekap tubuh bocah, agar ia merasa lebih hangat.
Setelah hujan kian mereda, kuajak
bocah itu untuk membonceng di Harleyku. ‘Bruuuum’
kedua tangannya semakin erat melingkar di pinggangku. Selang berapa lama,
sampailah kami di rumah mungil sang bocah yang baru kutahu ia bernama Ardi, karena tetangganya yang
menyaksikan kami berteriak, “waduuuh... hebat si Ardi, bisa
naik motor bagus!”
Berkali kali ku memberi salam di pintu rumah Ardi, namun tak jua ada jawaban. Sementara Ardi langsung menyelonong masuk ke dalam rumahnya sendiri. Dari
dalam Ardi
berteriak, “masuk aja
om, ga ada siapa siapa kok!” Aku masuk mengikuti arah sumber suara Ardi. Rupanya ia mengganti pakaian
di kamarnya.
Kubersandar di tiang pintu
kamar Ardi, sambil
iseng bertanya.
“Ayah ibumu kemana nak? Kok sepi
banget ya?”
“Ayahnya kabur dengan wanita lain, sedangkan
ibunya pergi ke Arab sudah dua tahun,” tiba-tiba seorang wanita setengah baya
berada di sampingku menjawab pertanyaanku barusan. Aku membenahi posisi berdiriku agar lebih tegak dan terlihat
sopan di hadapannya.
“Saya ini
tetangganya yang paling deket sama rumah ini. Dan sira (kamu) ini
siapa?” tanyanya padaku.
Aku mencoba untuk menjelaskan
pertemuanku dengan Ardi di gubug tadi. Lalu wanita separuh
baya itu mempersilahkanku untuk duduk dan mendengarkan ceritanya.
“Kasihan anak itu. Masih kecil telah ditinggalkan kedua orang tuanya. Berawal dari ibunya yang
pergi bekerja ke Arab, dan setahun kemudian giliran bapaknya yang pergi dengan
wanita lain, entah kemana dan tidak pernah datang lagi. Padahal dahulu, mereka
bisa dibilang pasangan suami istri yang tidak terlalu banyak masalah. Hanya
mungkin karena ingin merubah ekonomi, akhirnya istri memutuskan untuk ke Arab. Awalnya, merekapun masih
baik baik saja. Namun setelah suaminya sering mendapat kiriman dari istrinya,
tingkah laku suaminya dikit demi sedikit berubah seperti jurig, sering
main perempuan dan tiap malam kerjaannya mabuk. Sedangkan anaknya sama sekali
tidak diperhatikan.
Jangankan
untuk baju salinnya, wong untuk makan anaknya saja, setiap hari saya yang
berikan. Kiriman istrinya setiap bulan habis buat maksiat. Cemera eddan..!” Wanita itu mengutuk.
“Terus, bagaimana kehidupan dan
aktivitas Ardi selama
ini bu?”
“Wis tah, ngomonge aja mengkonon.
Reang beli ngerti…!!” tampik sang
ibu protes sambil menyulut rokok yang terselip di sela bibirnya.
“Maksud saya, bagaimana sehari hari
Ardi, bu?”
“Ya begitu, kalau pagi, dia pergi
ngamen. Pake kecrekan aja. Wuh, dia mah hebat. Ngamennya kadang sampe Cikampek, malah katanya sering
sampe Cirebon.”
“Makannya gimana bu?”
“Mangan, ya kari mangan bae. Gimana sih, masa nanyain makan.
Banyak warteg kok. Ya tinggal beli sendiri di warteg. Wong deweke wis pinter
luruh duit. Saya, ya ndak mau ngasih makan ke dia, orang dia juga ndak
ngasih duit ke saya buat
beli beras kok.”
Dugghh!!! Jantungku hampir saja copot mendengar pernyataan
ibu setengah baya ini. “Ya Allah Gusti Pengeraan…!”
batinku bergumam. Anak sekecil ini, yang seharusnya mendapatkan belaian kasih
sayang dari orang tuanya, namun harus hidup sebatang kara. Ia lalui terjalnya hidup
seorang diri.
Bayangkan…! Ia terpaksa harus mengusap air matanya seorang diri
sejak usia tiga tahun. Tak ada lagi
belai lembut sang bunda saat ia kedinginan. Tak juga ada peluk manja sang ayah
saat ia ingin bermain-main. Yang ada hanya kesendirian. Anak sekecil itu harus
dipaksa berjuang memecahkan karang kehidupan dengan tangannya yang mungil dan
ringkih.
Ya Allah.... batinku
menangis. Hatiku menjerit menyaksikan kepapaan ini. Aku tak sanggup
membayangkan, andainya hal seperti ini terjadi pada anak-anakku. Aku sadar, di
luar sana masih banyak Ardi lain yang senasib bahkan mungkin lebih menyedihkan
keadaannya dibanding Ardi. Namun aku tak berdaya. Aku tak mampu mengubah
keadaannya jadi lebih baik. Andaikan.... ya andaikan mampu, akan kujamin
kehidupan orang-orang yang miskin secara ekonomi agar tak perlu lagi ada
seorang ibu yang bekerja ke luar negeri meninggalkan buah hatinya. Juga agar
tak ada lagi ayah yang menelantarkan belahan jantungnya lantaran tak sanggup
hidup seorang diri tanpa istri di sampingnya.
Duh Gusti Pangeran.... rasanya
tak sanggup diri ini menyaksikan penderitaan yang dialami oleh Ardi. Bocah
sekecil ini belum saatnya harus terjun ke gelanggang kerasnya dunia untuk
sekedar mengumpulkan uang receh buat makan. Ia terlalu lemah untuk bertarung
dengan manusia-manusia lapar dan serakah di jalan yang kadang keserakahan
mereka mampu menelan apapun, termasuk keimanan dan akidah mereka. Ardi harus
kembali ke komunitasnya. Ya, ia harus seperti anak-anak kecil seusianya yang
sedang di usia emas kecerdasannya, belajar dan bermain. Aku bertekad, akan
kukembalikan Ardi seperti sewajarnya anak kecil.
Perlahan, tanpa terasa,
ujung kelopak mataku mulai basah. Dan titik-titik bulir bening tanpa dapat
kubendung, mulai menetes.
Kuseka air mataku, agar
ibu setengah baya itu tak melihatku menangis.
“Bu... nanti
akan saya titipkan uang buat kebutuhan Ardi ya!” ujarku pada ibu, sambil kuberdiri
untuk menghampiri ardi yang masih berada di dalam kamar.
“Sini nak, om mau ngomong
sama kamu.” Kurangkul pundak Ardi untuk ikut menyaksikan apa yang ingin
kutitipkan pada ibu setengah baya ini.
“Assalamu ‘alaikum…!” sapa seseorang di
pintu rumah sambil nyelonong masuk dan duduk di bangku.
“Eh, ana pak erte,” sambut ibu setengah baya.
Hatiku bergumam, “hemmm...
kebetulan.”
Kududukkan Ardi di pangkuanku
dan mulai ikut menyapa pak RT.
“Begini pak RT, saya
bermaksud menitipkan uang kepada ibu sebanyak 2 juta buat segala kebutuhan Ardi. Pakaian, makanan, bahkan
kalau bisa sekalian untuk seragam sekolahnya nanti, jika nanti dia akan sekolah.
Mudah-mudahan uang ini bArdiermanfaat untuk ,” ujarku sambil mengeluarkan uang dari dompetku.
Semua orang di ruangan tersebut
menghening. Kukecup lembut dahi Ardi, lalu aku pamit untuk melanjutkan perjalanan. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar