Jumat, 29 November 2013

Santri Ke Hongkong






Sejatinya Islam adalah agama dakwah yang harus dilakukan oleh setiap muslim dan muslimah, sesuai dengan potensi dan kemampuan masing-masing. Seseorang yang memiliki kemampuan berdakwah melalui tulisan, maka hendaknya ia mengoptimalkan kemampuannya. Demikian pula dengan orang yang memiliki kemampuan berbicara yang baik, dituntut untuk berdakwah melalui retorika yang mampu memikat jamaah.

Sebagai sebuah taklifi, sebagaimana yang ditegaskan dalam Al-Qur’an surat An-Nahl ayat 125, kewajiban berdakwah tentu bukan hanya sebatas bentuk ketaatan kepada perintah Allah, tapi lebih dari itu merupakan pengabdian kepada kebenaran. Bahwa Islam merupakan satu-satunya agama yang benar dan menyelamatkan, maka ajarannya yang luhur harus disampaikan kepada setiap manusia.
Menurut Abu Zahra (1994:155), seorang da’i harus memiliki karakteristik hati yang ikhlas, mengetahui retorika dan media, memahami isi Al-Qur’an dan sunnah, serta menjauhkan diri dari hal yang haram dan subhat.

Salah satu cara untuk mewujudkan hal tersebut tentunya dengan upaya mempersiapkan dan menyediakan kader-kader da’i (mubalig) yang memiliki persiapan mental dan intelektualitas mumpuni, sehingga akan tercetak guru, da’i, atau bahkan kiai dan ulama yang mempunyai pengetahuan agama luas. Berkaitan dengan hal tersebut, Pondok Pesantren Modern Man Ana sebagai lembaga pendidikan Islam yang memiliki fungsi sebagai tempat pengajaran, pemahaman, dan pendalaman ajaran Islam, berupaya menyikapi realita tersebut dengan mengadakan sebuah aktivitas mingguan yang di dalamnya berisi pembelajaran mengenai teknik-teknik berbicara di depan orang banyak dalam menyampaikan pesan-pesan dakwah yang dikenal dengan istilah muhadharah.

Sebagaimana difahami bahwa definisi muhadharah bisa diidentikan dengan kegiatan latihan pidato atau ceramah yang ditekankan pada skill santri dalam mengolah tata aturan atau segala hal yang terkait dalam proses tersebut. Kegiatan muhadharah ini bertujuan mendidik santri agar terampil dan mampu berbicara di depan khalayak untuk menyampaikan ajaran-ajaran Islam.

Menurut Asmuni Syakir (1982: 104), kegiatan muhadharah identik dengan khitabah yaitu merupakan pengetahuan yang membicarakan dan mengkaji tentang cara berkomunikasi dengan menggunakan seni atau kepandaian berbicara (berceramah). Khitabah ini sering dikatakan suatu teknik atau metode dawah yang banyak diwarnai oleh ciri karakteristik bicara seorang da’i pada suatu aktivitas da’wah.

Dalam muhadharah, santri diajarkan untuk berceramah dengan penguasaan, teknik, materi, dan gaya bahasa yang baik sehingga mampu menarik pendengar. Melalui kegiatan muhadharah, santri dilatih berbicara di depan orang banyak (teman-temannya) layaknya seorang da’i yang sedang berdakwah menyampaikan pesan-pesan dakwahnya.

Menurut ustadz Afwan Rosyadi, Ketua Bagian Bahasa di Ponpes Man Ana, muhadharah merupakan salah satu program unggulan dari Pondok Pesantren Man Ana yang kegiatannya diselenggarakan seminggu tiga kali, dengan menggunakan tiga bahasa yaitu bahasa Indonesia setiap jumat malam, bahasa Arab setiap sabtu malam dan dengan bahasa Inggris pada minggu malam.

“Kegiatan muhadharah ini diadakan dengan tujuan agar para santri memiliki bekal dan keberanian untuk berbicara di depan orang banyak serta memiliki pengetahuan yang luas ketika tiba saatnya bagi mereka mengabdikan diri di tengah-tengah masyarakat,” ucap alumni Pondok Pesantren La Tansa ini. “Pada prakteknya, setiap santri diajarkan untuk mampu berceramah dalam tiga bahasa tadi.”

Lebih lanjut, ustadz Afwan menjelaskan bahwa kegiatan muhadharah ini dibagi sesuai dengan jenjang pendidikan santri di Ponpes Man Ana, yaitu tingkat SMP dan SMA. “Masing-masing tingkatan akan dibagi menjadi kelompok-kelompok yang berisi 5-10 orang di bawah bimbingan seorang ustadz atau ustadzah. Pembimbing tersebutlah yang kemudian membantu santri menyiapkan materi ceramah dan mengajarkan retorika serta teknik-teknik yang baik dalam berdakwah.”

From Gunung Picung to Hongkong
Berbeda dengan pondok pesantren lain yang umumnya juga memiliki kegiatan muhadharah, pondok pesantren yang terletak di Gunung Picung sekitar ± 36 km arah selatan kota Bogor ini, tak sebatas hanya melatih santri untuk ceramah tapi juga langsung diaplikasikan ke tengah masyarakat. Tak tanggung-tanggung, santri yang dianggap memiliki kualifikasi yang baik dan lolos seleksi, diberangkatkan ke Hongkong untuk ceramah bersama dengan pengasuh pondok, KH. Mahfudin Arsyad.

Menurut KH. Mahfudin Arsyad, setiap 3-6 bulan sekali, dirinya mempunyai jadwal khusus untuk berdakwah ke Hongkong atau Macau. Kesempatan itulah yang kemudian dimanfaatkan sebagai ajang unjuk kemampuan para santri dengan mengajak mereka turut serta.

“Program ceramah ke luar negeri ini memang sengaja dirancang agar santri bisa benar-benar merasakan aura dan suasana dakwah yang sebenarnya. Apalagi mereka juga akan berceramah dalam tiga bahasa seperti yang biasa mereka lakukan di pondok. Kalau hanya ceramah di depan teman-temannya yang notabene memiliki pengetahuan yang sama, tentu tidak akan ada tantangan. Berbeda ketika mereka terjun langsung ke masyarakat, khususnya ke Hongkong atau Macau yang audiensnya berlatar belakang BMI (Buruh Migran Indonesia),” ungkap KH. Mahfudin Arsyad. “Sebelum berangkat ke Hongkong, mereka akan diseleksi secara ketat melalui proses audisi. Dengan begitu, mereka akan terpacu dan termotivasi untuk terus belajar dan meningkatkan kemampuan sehingga akan siap jika kelak terjun ke masyarakat,” tambahnya.

Senada dengan KH. Mahfudin Arsyad, Haflah Alfinas, salah seorang santri yang ceramah ke Hongkong pada 26 Februari 2012 lalu mengatakan bahwa dirinya merasakan suasana yang sangat berbeda ketika ceramah di hadapan jamaah umum dibandingkan di depan teman-temannya. “Waktu pertama kali naik ke panggung emang agak sedikit grogi, karena itu pengalaman pertama ceramah di depan banyak orang. Tapi lama-lama akhirnya biasa aja,” ucap santri yang duduk di bangku kelas I SMA ini. “Insya Allah pengalaman ini akan terus saya ingat seumur hidup dan menjadi pendorong bagi saya untuk terus belajar,” tambahnya.
Tak berbeda dengan Haflah Alfinas, Silvianingsih, santriwati yang berkesempatan ceramah ke Hongkong pada 20 Mei 2012 lalu, mengaku kalau latihan muhadharah yang dilakukan setiap minggu, sangat membantu ketika berhadapan dengan jamaah. “Mental kita benar-benar diuji. Kalau di depan teman, kadang ada yang memperhatikan isi ceramah, kadang ngga. Tapi kalau jamaah umum, semuanya pasti mendengarkan. Makanya butuh persiapan yang matang,” tuturnya.

Santri lain yang juga pernah berceramah keluar negeri adalah Hafsah Al-Irsyad, yang saat ini baru duduk di kelas 5 Madrasah Ibtidaiyah.

Sebagai sebuah program jangka panjang, apa yang dilakukan Ponpes Man Ana merupakan sebuah potongan puzzle yang melengkapi grand desain aktivitas dakwah keislaman yang telah dilakukan berbagai lembaga dakwah atau ormas keislaman selama ini. Dari kawah candradimuka inilah diharapkan kelak akan muncul para da’i atau mubalig yang fasih dalam ilmu agama dan responsif terhadap perkembangan ilmu dan teknologi. Sebab tantangan dakwah ke depan tentunya akan kian kompleks seiring dengan makin beragamnya persoalan sosial yang terjadi di masyarakat. (red)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar