Selasa, 04 Desember 2012

Asa Yang Terburai 4


Asa yang terburai
Bag empat
oleh; Mahfudin Arsyad
                Selesai melaksanakan shalat isya berjama’ah. Aku bersiap untuk melanjutkan perjalananku yang tidak seberapa jauh lagi. Kukenakan jaket kulit hitam dan helm dan mulai menstater motor harleyku.
                Brummm…. Brummmm….”
                Hidup memang begitu, tidak selalu sesuai dengan apa yang dikehendaki manusia, sebab kehendak selalu terwujud dari sesuatu yang berputar dalam otak manusia. Orientasi berfikir seseorang menentukan kehendaknya. Maka, ilmu sangat berperan dalam menentukan kehendak. Sedangkan keilmuan manusia sangat terbatas, apalagi jika dibandingkan dengan ilmu Allah.
Inilah sebabnya, kehendak manusia tidak akan terlaksana jika tidak sesuai dengan kehendak Allah. Sebab barangkali apa yang dikehendaki oleh manusia, (karena keterbatasan ilmunya itu), jika sampai terkabul hanya akan membuat dirinya menderita.
Sedangkan apa yang Allah kehendaki, pasti yang terbaik buat manusia. Namun sayang, keterbatasan ilmu manusia membuat ia tidak bisa menerima kehendak Allah.
                Seorang murid, hendaknya ketika sedang dibimbing oleh gurunya, tidak membantah dan menyangkal segala arahan dan bimbingan yang diberikan gurunya. Seperti nabi Musa as, mestinya ia menerima saja terhadap apa yang dilakukan oleh nabi Hidir as. Namun karena penyangkalan yang dilakukan oleh nabi Musa, membuat nabi Hidir pergi meninggalkannya. Dan terpaksa nabi Musa harus bersusah payah untuk bisa bertemu dengan Tuhan ketika di bukit Tur itu.
                Inilah yang membuat banyak sekali ummat manusia yang menderita. Satu alasan yang pasti, karena mereka sering memaksakan kehendaknya. Padahal kehendak tersebut belum sesuai dengan kehendak Allah.
                Motor Harley terus kupacu. Udara malam dingin menusuk sum sum. Dan malangnya, gang menuju Tenajar Lor samar terlihat. Tak pelak, aku harus kebablasan hingga daerah Larangan. Kuberhenti sejenak untuk mengingat-ingat kembali jalan yang sudah cukup lama tak ku kunjungi itu. Aku mampir di sebuah kedai gubug yang berjejer di pinggir jalan itu. Numpang ngopi sambil me-refresh ulang memoriku.
                Baru saja kopi kuseruput, datang seorang wanita muda belia menghampiriku. Wajahnya lumayan cantik.  Ia duduk merapat di sisiku. Hemmm, lumayan kikuk dan risih juga aku dibuatnya.
                Mau yang anget mas? Udah dari kemarin nih belum ada pelanggan. Murah kok mas, cuma dua ratus ribu aja!” tawar wanita itu yang lebih pasnya dibilang ABG. Sementara aku mendadak tersedak, mendengar harga yang anget mahalnya sampai dua ratus ribu.
                Kalau yang anget sampe dua ratus ribu, terus kopi ini berapa harganya mbak?” Tanyaku yang benar-benar tak faham apa maksudnya.
                Ah, mas ini pura-pura bego deh….”
                Aku langsung garuk kepala yang tidak gatal. Karena aku benar-benar tak mengerti apa maksudnya. Dan entah apa salahku, tiba-tiba ABG itu pergi meninggalkanku sambil ngegrundel.
Tak ingin menambah masalah, lekas kubayar kopi itu dan pergi dari tempat tersebut.
                Meniti jalan perlahan dan seksama, alhamdulillah akhirnya setelah larut malam, kutemui juga jalan itu dan sampai di tempat tujuan. Kediaman nenekku yang sudah berusia 98 tahun, namun masih saja rajin melaksanakan puasa Daud.
                Sambutan yang sangat hangat, malam itu kudapatkan dari nenek dan bibiku. Mereka melepaskan jaketku. Setelahnya, aku langsung mengeluarkan semua isi dalam box Harleyku yang sengaja kubawa sebagai oleh-oleh dari Jakarta buat nenek dan bibi.
                Ku pilih teras rumah yang menghadap jalan untuk merehatkan tubuh yang telah letih melakukan perjalanan seharian penuh. Nenek dan bibi menemaniku berbincang bincang sambil mengusir lelah.
                Bibi dapet majalah dari tetangga yang kerja di Hongkong. Bagus deh majalahnya,ujar bibiku yang kemudian masuk ke dalam rumah untuk mengambil majalah yang hendak beliau tunjukan kepadaku. Kulanjutkan berbincang dengan nenek.
                Memangnya disini banyak yang kerja di Hongkong ya nek?”
                “Iya nak, bahkan semua yang tadinya kerja di Arab dan Malaysia, sekarang pindah semua kerjanya jadi ke Hongkong. Habis katanya di Hongkong gajinya besar sih. Liat aja, rumah-rumah disini sudah pada tembok semua. Padahal tadinya bilik dari kulit bamboo,terang nenek.
                Alhamdulillaaaah….” lepasku. Terlihat bibi keluar sambil membawa majalah irsyad. Aku tersenyum simpul.
                Yang kasih majalah ini, anaknya nyantren di pondok Man Ana loh.
                Hahhh? Masa sih? Siapa namanya?” tanyaku bertubi tubi. Seketika obrolan kami jadi makin seru. Tak terasa malam sudah mulai menginjak tiga perempat malam. Nenekku pamit ke dalam untuk melaksanakan tahajud. Namun tiba-tiba mataku terbelalak melihat seseorang yang tak asing dalam penglihatanku. Dialah ABG yang meninggalkanku sambil ngegerundel. Karuan saja aku bertanya kepada bibiku tentang siapa dia. Awalnya beliau tidak menjawab, namun karena melihat aku bersiap untuk berdiri, bibi menahan tanganku seraya mengancamku dengan suara bisik yang menekan. “Duduk, jangan godai dia….!!!”
                Iddiiih… siapa yang mau godain. Max mau ke kamar mandi sebentar kok.
                Oooh… kiraaain….”
                Aku berdiri untuk ke kamar mandi sebentar, lalu kembali melanjutkan perbincangan yang makin menarik dengan bibi.
                Emangnya dia itu siapa sih bi?” tanyaku mengawali.
                Aah, bukan siapa siapa kok. Sudah yuk, kita tidur aja. Sebentar lagi shubuh. Lumayan kamu bisa ngerebahan sebentar. Wis ndak usah difikirkan wanita itu!” ulas bibi mengalihkan pembicaraan. Aku faham maksud bibi mengajakku tidur, sepertinya beliau tidak ingin membicarakan orang lain. Namun karena niatku mendengar cerita tentang anak itu untuk ‘pelajaran hidup’ ku, dan bukan untuk mengedepankan aib, maka aku mengancam bibi.
                Ya sudah, kalau begitu Max mau nyamperin dia ah. Kali aja ada jodoh.”
                Hussssttt…. Tengeling….!!! Aja Max…. ajaaaaa….!!!”
                Ya kalau aja, certain dong siapa dia!”
                Sejak dia berumur delapan tahun, orang tuanya bercerai. Ibunya berangkat ke Hongkong untuk bekerja. Anaknya dititip ke tetangga. Setiap bulan, ibunya selalu kirim uang yang berlebih buat anaknya.”
                Namanya siapa bi?”
                Wanti. (bukan nama sebenarnya)”
                Ketika wanti lulus SD, tetangganya menyarankan kepada ibunya untuk memasukkan Wanti ke pesantren. Namun ibunya ngengkel. Katanya takut kuper lah, takut ndak bisa mengikuti perkembangan zaman lah dan seribu ketakutan lainnya. Akhirnya Wanti masuk SMP. Karena setiap bulan ibunya memanjakan Wanti dengan uang, Segala keinginannya selalu dituruti. Dari mulai pakaian, handphone dan lain sebagainya yang serba kecukupan, Wanti tercetak menjadi anak yang ‘semau gue’. Sering terlihat anak-anak laki kumpul di rumahnya sampai larut malam. Di sisi lain, ibunya berkenalan dengan seorang lelaki lewat fesbuk. Kedekatannya makin hari makin akrab. Ibunya meminta kekasihnya itu untuk sering-sering memantau anaknya. Awalnya memang baik. Namun lama kelamaan, perut Wanti membesar. Karuan saja hal ini memicu tetangganya, apalagi tokoh masyarakat untuk ikut campur dalam musibah Wanti. Pak RT terus menekan Wanti untuk mengatakan siapa yang menghamilinya, agar lelaki itu bertanggung jawab. Wanti kemudian menyebutkan nama lelaki tersebut yang ternyata kekasih ibunya sendiri. Jelas saja semua yang mendengar jadi murka. Namun sayang, tidak satupun orang yang tahu dimana tinggal lelaki itu. Pada bulan kelima, kandungan Wanti keguguran. Ia kemudian dirawat di rumah sakit. Di saat itulah, akhirnya sang ibu baru menyesal atas keputusannya terhadap masa depan anak. Kini usia wanti sudah beranjak 16 tahun. Kelakuannya makin jadi. Bahkan kini ia menjadi wanita penjual kehangatan di daerah Larangan sana. Padahal dia adalah anak satu-satunya,tutur bibi sambil sesekali menyeka air matanya.
                Kenapa dia harus menjual diri? Bukankah ibunya selalu mencukupinya dengan kiriman uang?”
                Itulah cung. Sejak saat itu, ibunya tidak lagi mengirimkan uang buat Wanti, sehingga Wanti harus mencari uang sendiri. Katanya sih, ibunya disana terjebak hutang bank, lantaran pacarnya yang dahulu minta motor. Sekarang hanya tingga asa yang terburai.”
                Aku menghela nafas panjang. Panjaaaang sekali. Sepanjang harapan Wanti sebetulnya. Sebab aku yakin, Wanti masih memiliki harapan dalam hidupnya. Memang, dalam hal ini, ibarat nasi telah menjadi bubur. Tapi bukankah belum terlambat? Bukankah buburpun masih bisa disantap? Tinggal tambahkan serpihan ayam, tambah bawang goreng dan penyedap rasa, maka ia akan menjadi bubur ayam yang lezat.
                Belum terlambat Wanti…… bathinku bergumam.
                Lama ku merenung, hingga terdengar lantunan azan shubuh berkumandang. Sayup-sayup memanggil manusia untuk berwudhu dan sujud dihadapan gusti Allah. Pangeran jagad raya. Memasrahkan diri dan menyerahkan kehendak pribadinya kepada kehendak Allah yang sejati.
Usai shalat subuh berjamaah di musholah dekat rumah nenek, aku membaca Al-Quran sebentar. Dan lepas dari itu, berkeliling jalan pagi sambil mencari tukang nasi uduk.
                Hari mulai terang, namun belum juga kutemui tukang nasi uduk. Kuhampiri seorang anak lelaki berusia sekitar 15 tahun.
                Dik, dimana ya saya bisa dapatkan orang yang jual nasi uduk?”
                Oh, yuk saya antar. Sekalian saya juga mau beli nasi uduk kok mas.”
                Aku dan Dibyo, nama anak itu. Berjalan menghampiri tukang nasi uduk yang tidak jauh dari lokasi kami bertemu.
                Pesen nasi uduknya dua ya bu. Dimakan disini saja bu.”
                Oh ndak mas, saya makan di rumah saja,” sahut Dibyo.
                Iya mas, nasi Dibyo mah pasti dibawa pulang, karena dia mau nyuapi neneknya yang sudah sepuh. Apalagi ini hari senin. Biasanya Dibyo puasa,kata ibu penjual nasi uduk. Aku melongo mendengar penuturan si penjual nasi. Tak sadar bahwa mulutku ternganga. “Awas mas, nanti kemasukan lalat tuh mulutnya.
                “Heppp....” langsung kututup mulutku. Jiwaku menerawang tak karuan mendengar kenyataan di zaman sekarang, ternyata masih ada anak yang begitu sangat berbakti kepada orang tuanya. Apalagi neneknya. Padahal biasanya seorang cucu akan merasa acuh bahkan tak begitu peduli kepada neneknya. Ini lagi di usia yang sangat belia. Subhanallah, kesadaran hidupnya sudah melebihi kebanyakan manusia yang umurnya jauh diatas dia. Aku jadi teringat akan kisah nabiyullah Musa as. Ketika beliau bertanya kepada Allah tentang siapakah orang yang akan menjadi teman dudukku di dalam surga? Kemudian Allah menjawab,yang akan menjadi teman dudukmu di dalam surga adalah orang yang sebentar lagi lewat di depanmu.” Tak lama lewatlah anak muda di depannya." Musa bergumam apa istimewanya anak muda ini". Diikutinya pemuda yang sedang menuju pasar. Ia belanja sayuran dan bahan makanan. Kemudian ia pulang dan memasaknya. Selesai matangnya makanan ia masuk ke dalam sebuah kamar, ada seorang wanita tua didalamnya, ia duduk disampingnya, dan menyuapi wanita tua itu. Nabi Musa terus perhatikan kedua manusia ini dari jendela rumah mereka.
                Setiap disuapi makanan wanita itu komat kamit, dan terus komat kamit selesai disuapi sampai habisnya makanan. Dan si pemuda kembali ke belakang ruangan. Nabi Musa segera menemui wanita itu dan bertanya, "Wahai ibu, aku perhatikan setiap disuapi makanan engkau komat kamit seperti membaca sesuatu, apa yang kau baca sesungguhnya ? Wanita itu menjawab, Aku hanya mendoakan anakku Allaahummaj 'al ibnii jaalisan ma'a muusaa fil jannah  (Ya Allah jadikan anakku ini teman duduk Nabi Musa di dalam surga). Allahu Akbar !!!!
                Nabi Musa menangis dan berkata. "Doamu telah dikabulkan Allah.....
            Aku pun lantas bertanya kepada ibu penjual nasi uduk “siapakah ibu yang beruntung memiliki anak seperti Dibyo ini bu?”
            “Itu anaknya bu Marsih, beliau kerja di Hongkong,” jawab penjual nasi uduk singkat.
            Hahhhhh…..????!!!!”
            (bersambung)

1 komentar:

  1. salam buat sairoh cah kelurahan, Silvi dan sri wahyni dari keluarga besar MTs Al-Kautsar Unggulan 712 Sawah Baru Ciputat

    BalasHapus